Mohon tunggu...
Syabina MalixaSyekh
Syabina MalixaSyekh Mohon Tunggu... Lainnya - Mahasiswa Ilmu Komunikasi

Haloo im Syabina welcome to my blog!!

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Di Balik Pundak yang Lelah, Kisah Anak Pertama yang Tersudut

8 Oktober 2024   20:54 Diperbarui: 9 Oktober 2024   09:59 112
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Di sebuah keluarga, hiduplah seorang gadis yang merupakan anak pertama. Sejak kecil, hidupnya selalu dipenuhi masalah, mulai dari percintaan, keluarga, hingga kesehatan mentalnya yang terganggu. Sebagai anak sulung, dia memikul beban dan tekanan yang besar, hingga di beberapa titik dia hampir menyerah. 

Namun, bumi terus berputar, dan dia pun terpaksa ikut berputar bersamanya. Terkadang, dia berharap bisa memutar kembali waktu, kembali ke masa kanak-kanak, masa di mana hidup hanya tentang bermain. Kini, rumah yang seharusnya menjadi tempat pulang berubah menjadi ruang yang penuh penghakiman, tak lagi nyaman untuk disinggahi.


Dia menjalani kerasnya dunia sendirian, tanpa kehadiran orang-orang yang dia sayangi. Hanya Tuhan yang selalu ada di sisinya, menjadi satu-satunya tempat berlabuh. Sejak kecil, dia terbiasa memendam semua perasaan. 

Setiap kali dia mencoba mengungkapkan apa yang dirasakan, harapannya selalu patah. Orang-orang di sekitarnya lebih sering membandingkan dia dengan yang lain, tanpa pernah benar-benar memahami. 

Waktu berlalu, dan akhirnya dia menyadari ada yang tidak beres dalam dirinya---anxiety mulai merasuki pikirannya. Namun, selama bertahun-tahun, dia memilih untuk tetap diam, merasa tak ada yang peduli dengan masalah mental yang dia alami.


Di antara semua masalah, hubungan percintaannya mungkin yang paling menyakitkan. Dia pernah mendapat perlakuan buruk dari pasangannya, termasuk hinaan tentang keluarganya. Kalimat yang masih terus terngiang di benaknya adalah, "Keluarga lu gak ada apa-apanya dibanding gua. 

Temen-temen cewek gua, orang tuanya pejabat semua." Kata-kata itu meninggalkan luka yang dalam, bahkan trauma yang tak mudah hilang.

 Bertahun-tahun dia trauma pada laki-laki, hingga akhirnya seseorang datang, meyakinkan dia bahwa tidak semua laki-laki sama. Namun sayangnya, kehangatan itu hanya sementara. Setelah beberapa bulan, perlakuan laki-laki itu pun berubah, mengulang pola yang sama seperti sebelumnya.


Permasalahan dengan keluarganya juga tak kalah rumit. Tekanan demi tekanan menghujaninya, terutama tentang hubungannya dengan sang kekasih. Keluarganya selalu mempertanyakan status sosial, pendidikan, hingga profesi pasangannya. 

"Dia kalau bukan TNI atau POLRI, kamu gimana? Setelah kamu lulus kuliah dan dia belum jadi apa-apa, kamu mau gimana?" Bahkan, keluarganya pernah menyuruhnya untuk memutuskan hubungan.

 Standar sosial yang tinggi membuatnya semakin tertekan, karena dia tahu bahwa pasangannya belum mampu memenuhi harapan keluarganya. Selain itu, dia juga merasa harus menjadi teladan bagi adik-adiknya, dan karena itu dia tak pernah bisa mengungkapkan isi hatinya. Di hadapan keluarganya, dia harus selalu terlihat kuat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun