Mohon tunggu...
Satrio Wahono
Satrio Wahono Mohon Tunggu... Penulis - magister filsafat dan pencinta komik

Penggemar komik lokal maupun asing dari berbagai genre yang kebetulan pernah mengenyam pendidikan di program magister filsafat

Selanjutnya

Tutup

Politik

Kemunduran Demokrasi Kita, Kegagalan Pengamalan Pancasila Mewujudkan Kesetaraan Warga

21 Januari 2025   12:55 Diperbarui: 21 Januari 2025   10:40 25
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kover buku Perihal Keadilan yang memuat pemikiran John Rawls (Sumber: koleksi pribadi)

Perjalanan demokrasi Indonesia sejauh ini belum terlalu menggembirakan. Pasalnya, data V-Dem Institute menunjukkan indeks demokrasi Indonesia pada tahun 2024 memiliki skor 0,36, turun dari tahun 2023 yang mencapai skor 0,43. Ini menempatkan Indonesia pada urutan ke-87, dari sebelumnya urutan ke-79 di dunia (tribunnews.com, 26/8/2024).

Kemudian, the Economic Intelligence Unit (EIU) masih mengkategorikan Indonesia sebagai demokrasi cacat (flawed democracy). Pengukuran Indeks Demokrasi EIU meliputi lima dimensi, yakni proses pemilu dan pluralisme, keberfungsian pemerintahan, partisipasi politik, budaya politik, dan kebebasan sipil. 

Pemikiran John Rawls

Artinya, pemerintah beberapa tahun belakangan ini--tentunya termasuk pemerintah sekarang--belum mampu memenuhi secara optimal prinsip demokrasi maupun keadilan. Ini apalagi jika kita menganalisanya berdasarkan teori keadilan John Rawls. Sangat terpengaruh oleh teori kontrak sosial, Rawls menyatakan secara filosofis asal-usul negara terjadi karena masyarakat yang adil mampu mengedepankan nalar publik (public reason) dalam kehidupan bersama. Nalar publik sendiri adalah nalar yang secara pasti bisa saling diterima dan saling didukung (resiprokal). Sejak awal, subjek sudah mengetahui hal-hal yang akan saling diterima dan didukung (dalam Sunaryo, Perihal Keadilan, Gramedia, 2021).  

Rawls melanjutkan bahwa percakapan menggunakan nalar publik itu mesti difasilitasi oleh satu wahana "netral" di mana semua pihak berada dalam posisi asali (original position). Maksudnya, posisi sama antara warga negara sehingga percakapan terjadi secara seimbang dan fair. Wahana netral itu adalah batas minimal yang memberikan semua warga negara akses setara pada proses diskursif (perbincangan) seputar masalah-masalah publik atau terkait aspek kewargaan. Jadi, warga negara disebut warga karena dia terlibat secara bebas dan setara dalam satu praktik mempertahankan keutamaan umum (common good). Kualitas warga dinilai dari kesertaannya memperjuangkan kemaslahatan umum (Robertus Robet, "Batas Minimal Bernegara," Prisma 4, 2013).

Konteks Indonesia

Sementara itu, posisi asali tersebut dimediasi oleh satu common denominator. Dalam konteks Indonesia, common denominator itu adalah Pancasila sebagai satu konsensus yang menjamin semua warga memiliki kesamaan hak dan kewajiban seraya tunduk pada supremasi hukum (rule of law). Jadi berbekal Pancasila, warga minoritas mendapatkan ruang untuk berpartisipasi dalam pemecahan masalah umum tanpa perlu takluk terhadap kebudayaan dominan.

Kemudian, keberadaan Pancasila sebagai posisi asali akan menangkal ekslusivitas mengingat posisinya sebagai titik mula berdiskusi. Pendeknya, eksklusivitas khas setiap kelompok terakomodasikan dalam Pancasila sebagai tempat nyaman untuk berbincang tanpa masing-masing merasa paling hebat.  

Kemudian, posisi Pancasila sebagai batas minimal bernegara membuat negara tak perlu takut memiliki warga yang lembek membela kedaulatan wilayah. Sebagai batas minimal bernegara, Pancasila akan merasuki kesadaran para warga negaranya. Sehingga, tanpa perlu disuruh warga negara Indonesia akan menghayati nilai Pancasila itu secara spartan dan militan dalam tingkah laku mereka. Patriotisme setiap warga pun akan tumbuh subur tanpa terbatas pada bidang militer. Melainkan, bisa mencakup berbagai bidang: seni, pendidikan, sosial, dan sebagainya.

Kegagalan pemerintah

Berdasarkan teori Rawls dan kerangka kerja Pancasila sebagai batas minimal bernegara, kita bisa mengatakan kemunduran demokrasi di Indonesia sebangun dengan kegagalan pemerintah menciptakan kesetaraan antar warga negaranya maupun memenuhi esensi dari Pancasila. Bagaimana mau sama jika rasio Gini kita yang menunjukkan ketimpangan sosial masih tinggi di angka 0,381? Ketimpangan ini melahirkan kaum oligarki modal, yang lantas bersekutu dengan elit oligarki politik. Mengapa oligarki politik? Karena kekuasaan politik didominasi segelintir muka lama atau muka-muka baru yang terafiliasi muka lama alias dinasti politik. Karena kepentingan oligarki adalah mempertahankan kekayaan maupun kekuasaan, Herbert Marcuse mengingatkan kombinasi oligarki politik dan modal itu berisiko melahirkan sistem politik ala sindikat yang meminggirkan rakyat  (Valentinus Saeng, Herbert Marcuse, Gramedia, 2012). Peminggiran rakyat itu terjadi baik darisegi kebebasan masyarakat, partisipasi publik, maupun kesejahteraan sosial.

Karena itu, pemerintah sebaiknya tidak lagi banyak berlindung di balik retorika terkait kemunduran demokrasi. Sebaliknya, pemerintah harus mulai menyadari untuk mengamalkan esensi Pancasila sebagai batas minimal bernegara. Sebab kalau tidak, negeri ini bisa berpotensi semakin jauh dari cita-cita reformasi.

  

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun