Sejak 1998, Indonesia sudah memilih demokrasi sebagai haluan politiknya. Ciri-ciri penting sistem politik demokratis itu sendiri adalah pemerintahan berdasarkan konstitusi, adanya checks and balances antara eksekutif, legislatif dan yudikatif (trias politica); proteksi terhadap hak asasi manusia (HAM); pemilu yang bebas dan diikuti lebih dari satu parpol; pers independen;, pengadilan yang tidak memihak (impartial), dan adanya budaya kewargaan (civic culture) yang taat hukum lagi memiliki kebebasan di berbagai bidang.
Sementara itu, tiga sendi demokrasi adalah kebebasan, persaudaraan (persatuan) dan kesetaraan. Tambahan lagi, hakikat demokrasi adalah rasionalitas supaya manusia tidak lagi terjebak dalam mentalitas kekanakan yang tidak mandiri dalam berpikir maupun bertingkah laku karena terbelenggu faktor irasional maupun nonrasional, seperti pertimbangan kepentingan sempit kelompok atau golongan, politik identitas yang eksklusif, dan lain sebagainya. Menurut Sunaryo dalam Perihal Keadilan (Gramedia, 2021), manusia dalam sistem politik demokratis adalah ia yang otonom dalam menentukan pilihannya seraya bebas membincangkan segala macam masalah kewargaan di ruang publik yang mensyaratkan kesetaraan dan rasionalitas dalam pertukaran diskursus.
Karena itu, melihat 27 tahun perjalanan reformasi demokrasi kita, Indonesia masih berkutat pada keberhasilan dari segi ciri, bukan dari segi substansi. Pasalnya, secara ciri kita tampak demokratis, tapi keropos dari segi ruh demokrasi. Banyaknya kepala daerah dan pejabat publik yang terjerat kasus korupsi, masih merajalelanya perilaku lancung oknum birokrasi dan oknum pengusaha di sejumlah daerah, terus ditemuinya berbagai penyalahgunaan wewenang oleh oknum penegak hukum, kerap lemahnya negara melawan kepentingan oknum korporasi asing maupun lokal, hanyalah segelintir contoh. Singkat kata, demokrasi kita terbelit oleh sulur-sulur dari monster bernama oligarki.
Oligarki dan masyarakat risiko
Oligarki sendiri memiliki sejumlah definisi (Prisma 1 Vol. 33, 2014). Pertama, Richard Robison dan Vedi Hadiz mendefinisikannya sebagai "sistem relasi kekuasaan yang memungkinkan konsentrasi kekayaan dan otoritas serta pertahanan kolektif atas konsentrasi kekayaan". Kedua, Jeffrey Winters secara singkat mengartikan oligarki sebagai "politik pertahanan kekayaan antar-aktor yang memiliki sumber daya material berlimpah". Artinya, kaum oligark adalah mereka yang memiliki aset kekayaan dan berupaya mempenetrasi sistem politik guna mempertahankan dan memperluas kekayaan tersebut.
Dari definisi ini, kita bisa memahami munculnya fenomena golongan "penguasaha" sebagai persenyawaan antara penguasa dan pengusaha. Modusnya bisa berupa transaksi material antara dua oknum dari golongan tersebut, yang pada gilirannya memiskinkan rakyat dalam bentuk praktik-praktik seperti korupsi, suap, dan lain sebagainya. Atau, berupa masuknya golongan pengusaha ke dalam politik bukan demi kewajiban mulia memperjuangkan kepentingan bersama, melainkan hanya kepentingan sempit mereka.
Padahal, fenomena oligarkis ini pada gilirannya tidak sekadar berhenti pada tataran politik, tapi juga menginvasi ruang privat dan kebatinan warga hingga menimbulkan krisis kebangsaan. Francis Budi Hardiman (Dalam Moncong Oligarki, Kanisius, 2013) menyebut keadaan ruang privat warga yang terinvasi ini sebagai 'masyarakat risiko.' Maksudnya adalah karena lemahnya kontrol publik atas birokrasi (penguasa) dan pasar (pengusaha), demokratisasi yang seharusnya merehabilitasi solidaritas kebangsaan justru menjadi arena produksi dan distribusi risiko. Ketika pengalaman bersama sebagai bangsa gagal direproduksi, ketidakpastian komunikasi di dalam masyarakat jadi semakin besar, sehingga setiap orang menjadi risiko bagi sesamanya. Akibatnya, politik kehilangan kemampuan untuk menggalang solidaritas sosial karena setiap individu warga cenderung mencari aman sendiri. Timbullah masyarakat individualistis yang minim empati dan egoistis. Singkatnya, 'masyarakat tanpa bangsa.'
Solusi
Karena itu, sudah saatnya masyarakat berupaya menjalankan kembali peranan demokrasi yang rasional guna memulihkan krisis kebangsaan. Ada sejumlah cara untuk itu. Pertama, elemen masyarakat pro-perubahan harus merumuskan secara rasional dan tekun sasaran-sasaran bersama sebagai arah gempuran mereka. Jika permufakatan jahat oknum aparat negara dan oknum pengusaha dalam sejumlah proyek di berbagai daerah menjadi isu, misalnya, elemen-elemen masyarakat di daerah masing-masing harus terus menggempur benteng kaum oligark seraya menjalin kepentingan lintas-jaringan dan blok politik demokratis lebih luas guna memperkuat daya gedor.
Kedua, masyarakat harus berani merebut ruang politik dan ruang publik dengan mengedukasi sesama warga untuk memberikan masukan dalam berbagai proses seleksi pejabat publik. Juga, menerapkan otonomi akal sehat mereka secara jernih dalam pemilihan wakil rakyat serta pemimpin wilayah mereka.
Ketiga, upaya perebutan ruang politik dan ruang publik mesti dipermudah dengan pelonggaran syarat bagi calon independen dalam pemilukada dan pembolehan calon independen dalam pemilihan presiden (pilpres), apalagi dengan penghapusan presidential threshold sudah terjadi untuk ajang pilpres. Sebab, pelonggaran itu akan menghadirkan banyak alternatif dalam kontestasi politik, sehingga kampanye para calon akan diwarnai dengan dinamika adu gagasan, platform, dan program inovatif guna menarik suara pemilih.
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H