Mohon tunggu...
Satrio Wahono
Satrio Wahono Mohon Tunggu... Penulis - magister filsafat dan pencinta komik

Penggemar komik lokal maupun asing dari berbagai genre yang kebetulan pernah mengenyam pendidikan di program magister filsafat

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Demokrasi Kita Terbelit Oligarki, Bagaimana Mencari Solusi

17 Januari 2025   15:04 Diperbarui: 17 Januari 2025   14:11 41
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kover buku Dalam Moncong Oligarki (Sumber: koleksi pustaka pribadi)

Sejak 1998, Indonesia sudah memilih demokrasi sebagai haluan politiknya. Ciri-ciri penting sistem politik demokratis itu sendiri adalah pemerintahan berdasarkan konstitusi, adanya checks and balances antara eksekutif, legislatif dan yudikatif (trias politica); proteksi terhadap hak asasi manusia (HAM); pemilu yang bebas dan diikuti lebih dari satu parpol; pers independen;, pengadilan yang tidak memihak (impartial), dan adanya budaya kewargaan (civic culture) yang taat hukum lagi memiliki kebebasan di berbagai bidang.

Sementara itu, tiga sendi demokrasi adalah kebebasan, persaudaraan (persatuan) dan kesetaraan. Tambahan lagi, hakikat demokrasi adalah rasionalitas supaya manusia tidak lagi terjebak dalam mentalitas kekanakan yang tidak mandiri dalam berpikir maupun bertingkah laku karena terbelenggu faktor irasional maupun nonrasional, seperti pertimbangan kepentingan sempit kelompok atau golongan, politik identitas yang eksklusif, dan lain sebagainya. Menurut Sunaryo dalam Perihal Keadilan (Gramedia, 2021), manusia dalam sistem politik demokratis adalah ia yang otonom dalam menentukan pilihannya seraya bebas membincangkan segala macam masalah kewargaan di ruang publik yang mensyaratkan kesetaraan dan rasionalitas dalam pertukaran diskursus.

Karena itu, melihat 27 tahun perjalanan reformasi demokrasi kita, Indonesia masih berkutat pada keberhasilan dari segi ciri, bukan dari segi substansi. Pasalnya, secara ciri kita tampak demokratis, tapi keropos dari segi ruh demokrasi. Banyaknya kepala daerah dan pejabat publik yang terjerat kasus korupsi, masih merajalelanya perilaku lancung oknum birokrasi dan oknum pengusaha di sejumlah daerah, terus ditemuinya berbagai penyalahgunaan wewenang oleh oknum penegak hukum, kerap lemahnya negara melawan kepentingan oknum korporasi asing maupun lokal, hanyalah segelintir contoh. Singkat kata, demokrasi kita terbelit oleh sulur-sulur dari monster bernama oligarki.

Oligarki dan masyarakat risiko

Oligarki sendiri memiliki sejumlah definisi (Prisma 1 Vol. 33, 2014). Pertama, Richard Robison dan Vedi Hadiz mendefinisikannya sebagai "sistem relasi kekuasaan yang memungkinkan konsentrasi kekayaan dan otoritas serta pertahanan kolektif atas konsentrasi kekayaan". Kedua, Jeffrey Winters secara singkat mengartikan oligarki sebagai "politik pertahanan kekayaan antar-aktor yang memiliki sumber daya material berlimpah". Artinya, kaum oligark adalah mereka yang memiliki aset kekayaan dan berupaya mempenetrasi sistem politik guna mempertahankan dan memperluas kekayaan tersebut.

Dari definisi ini, kita bisa memahami munculnya fenomena golongan "penguasaha" sebagai persenyawaan antara penguasa dan pengusaha. Modusnya bisa berupa transaksi material antara dua oknum dari golongan tersebut, yang pada gilirannya memiskinkan rakyat dalam bentuk praktik-praktik seperti korupsi, suap, dan lain sebagainya. Atau, berupa masuknya golongan pengusaha ke dalam politik bukan demi kewajiban mulia memperjuangkan kepentingan bersama, melainkan hanya kepentingan sempit mereka.

Padahal, fenomena oligarkis ini pada gilirannya tidak sekadar berhenti pada tataran politik, tapi juga menginvasi ruang privat dan kebatinan warga hingga menimbulkan krisis kebangsaan. Francis Budi Hardiman (Dalam Moncong Oligarki, Kanisius, 2013) menyebut keadaan ruang privat warga yang terinvasi ini sebagai 'masyarakat risiko.' Maksudnya adalah karena lemahnya kontrol publik atas birokrasi (penguasa) dan pasar (pengusaha), demokratisasi yang seharusnya merehabilitasi solidaritas kebangsaan justru menjadi arena produksi dan distribusi risiko. Ketika pengalaman bersama sebagai bangsa gagal direproduksi, ketidakpastian komunikasi di dalam masyarakat jadi semakin besar, sehingga setiap orang menjadi risiko bagi sesamanya. Akibatnya, politik kehilangan kemampuan untuk menggalang solidaritas sosial karena setiap individu warga cenderung mencari aman sendiri. Timbullah masyarakat individualistis yang minim empati dan egoistis. Singkatnya, 'masyarakat tanpa bangsa.'

Solusi

Karena itu, sudah saatnya masyarakat berupaya menjalankan kembali peranan demokrasi yang rasional guna memulihkan krisis kebangsaan. Ada sejumlah cara untuk itu. Pertama, elemen masyarakat pro-perubahan harus merumuskan secara rasional dan tekun sasaran-sasaran bersama sebagai arah gempuran mereka. Jika permufakatan jahat oknum aparat negara dan oknum pengusaha dalam sejumlah proyek di berbagai daerah menjadi isu, misalnya, elemen-elemen masyarakat di daerah masing-masing harus terus menggempur benteng kaum oligark seraya menjalin kepentingan lintas-jaringan dan blok politik demokratis lebih luas guna memperkuat daya gedor.

Kedua, masyarakat harus berani merebut ruang politik dan ruang publik dengan mengedukasi sesama warga untuk memberikan masukan dalam berbagai proses seleksi pejabat publik. Juga, menerapkan otonomi akal sehat mereka secara jernih dalam pemilihan wakil rakyat serta pemimpin wilayah mereka.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun