Mohon tunggu...
svd_yk
svd_yk Mohon Tunggu... -

penikmat berita dunia politik

Selanjutnya

Tutup

Politik featured Pilihan

Demo Mahasiswa, Antara Kegalauan dan Kebingungan

4 November 2015   22:42 Diperbarui: 23 September 2019   16:42 1220
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Setahun kepemimpinan jokowi-jk meninggalkan ketidakpuasan bagi sebagian kalangan masyarakat. Terlepas dari pro kontra, ada upaya dari para mahasiswa untuk menyuarakan aspirasi rakyat tersebut.

Terhitung ada beberapa kali para mahasiswa berkumpul dan berdemo, namun upaya demo tersebut jauh dari harapan dan gambaran masyarakat  Entah apakah antusiasme mahasiswa yang rendah, ketiadaan idealisme, ketiadaan motivasi dan tujuan, kehilangan daya juangnya, ataukah karena gaya hidup mahasiswa yang telah bergeser menjadi materialistis dan hedonis. Yang jelas semangat dan ruh dari demo para mahasiswa sudah tidak terlihat lagi

Harapan besar masyarakat kepada para mahasiswa agar mampu bersuara lebih lantang, sehingga masyarakat tidak sekedar keluh kesah di dunia maya, tampaknya sulit terpenuhi.

Terlebih jika masyarakat membandingkan dengan sepak terjang mahasiswa tahun 98 yang sukses melengserkan suharto dari kursi kekuasaannya, membuat demo mahasiswa masa kini terlihat hanya sekedar upaya mengaktualisasi jati diri dan mencitrakan diri kepada sesama mahasiswa sebagai mahasiswa yang idealis dan peduli.

Memang, bicara demo jangan dilihat hanya sekedar perebutan kekuasaan, melainkan upaya untuk mempengaruhi pemerintah agar tercipta perubahan-perubahan tertentu yang lebih baik.

Seperti halnya pada demo tahun 98 yang menjadi inspirasi demo masa kini karena sukses mempengaruhi presiden suharto agar mundur. Yang kemudian dijawab dengan kerelaan  suharto untuk mundur dengan damai sehingga pertumpahan darah akibat perang militer dengan sipil tidak terjadi.

Seharusnya para mahasiswa sadar, bahwa demo jalanan ala 98 adalah metode usang dalam memperbaiki keadaan saat ini. Bukan sekedar kondisi dan situasi yang berbeda, melainkan karena tingkat kematangan masyarakat dalam berdemokrasi sudah cukup baik.

Masyarakat sadar, bahwa mereka telah memiliki wadah untuk menyalurkan aspirasi dan kepentingannya, dan mempercayakan hal tersebut kepada wakil rakyat yang  memang sudah menjadi perannya.

Sehingga mereka justru menganggap demo ala jalanan itu terasa sia-sia, tidak berarti, tidak didengar dan justru mengganggu kepentingan umum.

Ada beberapa alasan yang menjadi penyebab mengapa mahasiswa seolah kehilangan missing link dalam meneruskan aspirasi dan harapan rakyat saat ini

Kesenjangan Informasi antara mahasiswa dan masyarakat

Berbeda dengan tahun 98 dimana mahasiswa sebagai motor penggerak suara rakyat, dimana mereka memiliki informasi yang sangat baik yang menjadi motivasi mereka untuk bersuara lantang.

Mereka sangat sadar dan paham bahwa satu-satunya cara agar rakyat dapat keluar dari keterpurukan ekonomi dan politik adalah dengan mengakhiri kekuasaan “absolute” pada masa itu. Disini rakyat berperan sebagai pendukung dan pembela dari para mahasiswa

Sebaliknya, Saat ini mahasiswa justru kebingungan dalam mencari tujuan untuk bersuara, seolah-olah tidak mampu menangkap apa yang menjadi keluh kesah dan harapan masyarakat.

Para mahasiswa tidak paham dengan apa yang terjadi saat ini, tidak mengetahui setiap dampak-dampak sosial yang harus ditanggung rakyat atas kebijakan pemerintah.

Bahkan, mungkin mahasiswa saat ini sama sekali tidak mengikuti perkembangan dunia politik yang gaduh dan penuh hiruk pikuk. Ketika mahasiswa kebingungan dengan dimana ia berada dan untuk apa, lalu bagaimana mungkin mereka mampu memberikan solusi dan jawaban bagi masyarakat dan pemerintah.

Maka jangan heran jika tuntutan mahasiswa saat ini salah sasaran, tidak nyambung, dan sekedar copy paste dari demo-demo terdahulu

Kegagalan dalam menghadapi tantangan kedepan

Betapa lemahnya informasi yang dimiliki para mahasiswa adalah bukti kegagalan mereka dalam menghadapi tantangan kedepan. Mengandalkan euphoria demo 98 adalah sebuah kesalahan besar.

Selain justru mengganggu ketertiban umum, tampaknya pemerintah saat ini cukup mampu meredam suara bising mereka Bahkan saking tidak berartinya demo mereka, membuat pemerintah dengan mudah membatasi pergerakan mereka. Baik dalam hal pembatasan akses pemberitaan maupun pembatasan aturan berdemo.

Seharusnya para mahasiswa dapat belajar mengenai demo mesir, dimana mereka memanfaatkan media social untuk menyebarluaskan informasi dan idealisme mereka. Dan juga dimanfaatkan untuk menembus pembatasaan pemberitaan yang dilakukan oleh pemerintah.

Diharapkan agar para mahasiswa lebih kompak dan menyatukan pandangan mereka terlebih dahulu, agar para mahasiswa dapat menyatukan visi dan misi sebagai kesatuan yang mewakili seluruh mahasiswa di indonesia, dan bergerak bersama secara teratur, kompak, sistematis, dan tidak terpecah-pecah

Rendahnya gaung suara para mahasiswa juga disebabkan oleh minimnya kreatifitas mereka dalam berdemo. Sebaiknya mereka memikirkan cara yang lebih simpatik dan diterima oleh masyarakat, karena bagaimanapun juga para mahasiswa tersebut bertindak demi kepentingan rakyat jelata. Jangan sampai niat baik mereka tidak diterima hanya karena dilakukan dengan cara yang salah.

Mungkin terlihat sepele, namun sebetulnya sangat vital, karena tujuan berdemo adalah untuk mencari perhatian dan dukungan ataupun menekan pemerintah.

Demo dengan teriak lantang ala megaphone adalah cara yang usang, terlebih dengan spanduk dan slogan-slogan tulisan yang monoton dan ketinggalan jaman.

Zona nyaman satu dekade

Mungkin zona nyaman selama lebih dari satu decade dapat mengikis idealisme dan daya kritis para mahasiswa. Membuat mahasiswa kehilangan tujuan dan memilih untuk berkompromi dengan penguasa saat itu.

Dan mengubah orientasi para mahasiswa dari semangat memberontak dan menuntut menjadi semangat menerima dan menikmati keadaan yang ada. Berbagai kemudahan, pergaulan, dan bergesernya nilai-nilai moral, social dan budaya juga turut mempengaruhi gaya hidup mereka. Dua generasi mahasiswa atau lebih, sudah cukup untuk memutus informasi sepak terjang dan idealisme para pendahulu.

Mungkin mahasiswa saat ini tidak mengetahui bahwa apa yang mereka nikmati saat ini adalah buah dari perjuangan para pendahulu mereka dalam memperjuangkan dan mempertahankan hak dan kepentingan rakyat.

Maka jangan heran jika mahasiswa masa kini justru menerima sogokan makan malam dan berselfie ria dengan pemerintah, ketika masyarakat menaruh harapan besar kepada mereka agar bersikap lebih keras dalam menekan pemerintah.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun