"Pak, dulu ada mobil-mobilan biru di etalase itu. Kami ingin membelinya."
Perasaan ibu Febrian tidak enak, jantungnya berdebar-debar.
"Ah sayang sekali, Bu. Mobil-mobilan itu baru saja kemarin dibeli Pak Kombes untuk anaknya, Pipin. Mereka biasa beli mainan di sini."
Meskipun sudah mengantisipasi, tetap saja jantung ibu Febrian serasa copot, dengkulnya lemas. Ia cuma bisa mengajak pulang Febrian yang membisu dan berkaca-kaca matanya.
Semenjak itu Febri menghabiskan waktu sekitar setengah jam setiap harinya berdiri di depan toko itu memandangi isi di balik jendela kaca. Pemilik toko itu pernah keluar menemuinya, memberi tahu kalau mobil-mobilan itu adalah model lama yang sudah tidak ada lagi. Tapi ia hanyalah seorang anak kecil yang belum terasah berlogika.
Tiga belas hari kemudian, pemilik toko keluar dan mengajak Febrian masuk. Di dalam ada seorang anak kecil sebaya dengan Febrian.
"Nak, ini Pipin yang akan memberikan sebuah mobil-mobilan birunya kepadamu."
Pipin punya banyak mobil-mobilan yang sama dengan berbagai warna. Yang biru ada beberapa buah, malah yang terakhir masih dalam kardusnya. Yang terbaru itulah yang dihadiahkan Pipin untuk Febrian. Kemarin Pak Kombes dan Pipin datang ke toko itu untuk belanja, pemilik toko itu menceritakan tentang Febrian kepada Pak Kombes. Begitulah mengapa ada Pipin di situ.
Ah, Pipin memang baik hati. "Terima kasih Pipin," bisik angin sejuk di bumi ini.
--- •oo 00 O 00 oo• ---
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H