Meskipun ia berasal dari keluarga yang penuh keterbatasan, Febrian dikenal sebagai anak yang paling ceria dan aktif di PAUD Kumbang Patriot Nusa Indah (Kumpanusina) itu. Dalam kesederhanaannya, ada banyak hal yang diingininya --dan tak terpenuhi; tetapi ia tidak pernah meminta-minta, menuntut, atau --apalagi-- berbuat curang. Ia juga tidak manja. Bagaimana mau manja, ayahnya telah meninggal dua tahun lalu, sedang waktu ibunya banyak tersita berjualan gorengan dan mencuci-gosok pakaian orang.
Meskipun sibuk, ibunya penuh perhatian dan komunikatif dengan Febrian. Ibunya seolah bisa membaca pikiran Febrian. Misalnya, setahun yang lalu, ketika mereka lewat sebuah toko mainan, sang ibu bisa melihat kalau Febrian begitu menginginkan mobil-mobilan RC sporty berwarna biru yang harganya pasti di luar jangkauannya. Febrian tidak merajuk, bahkan meminta saja tidak, tapi ibunya tahu apa yang menguasai pikiran Febrian. Seperti tidak terjadi apa-apa, mereka berlalu dari hadapan toko itu. Hanya saja, air mata hangat meleleh menyusuri pipi sang ibu, tanda ketidakberdayaan dalam mengemas kasih sayang terhadap anaknya.
Keesokan harinya, setelah blusukan di pasar tradisional, sang ibu berhasil menemukan mobil-mobilan kayu yang berukuran kira-kira sama dengan yang ada di toko mainan. Hanya ada warna merah, putih, hitam, dan hijau. Tidak ada biru. Ia membelinya yang berwarna hijau.
Malam harinya, menjelang waktu tidur, sang ibu memberikan mobil-mobilan hijau itu kepada Febrian. Seperti biasa, Febrian bersikap biasa-biasa saja kalau menerima pemberian, hanya mengucap terima kasih. Tapi sang ibu tahu kalau Febrian sangat gembira dan terharu. Febrian tertidur sambil mendekap mobil-mobilan itu.
Setengah jam kemudian, sang ibu melihat Febrian masih mendekap mobil-mobilan itu. Dengan perlahan dan hati-hati, ia mengurai tangan Febrian, kemudian meletakkan mobil-mobilan itu di pojok dipan, merapat dinding. Tampak sesungging senyum di bibir Febrian. Sang ibu memandanginya beberapa menit.
Beberapa hari berlalu.
"Bu, Febrian mau jualan gorengan di PAUD."
"Nak, kamu masih terlalu kecil untuk jualan. Kamu harus belajar ilmu hitung dulu. Dan setahu ibu, ibu guru di PAUD tidak mengizinkan orang berjualan di sana."
"Biar nanti Febrian yang minta izin kepada ibu guru."
Dan benarlah, permintaan itu ditolak, malah ibu Febrian dipanggil untuk bertemu ibu guru. Ibu Febrian menjelaskan kepada ibu guru tentang tekad Febrian menabung untuk bisa membeli mobil-mobilan idamannya. Sebetulnya ibu guru itu kurang setuju kalau mobil-mobilan sampai menjadi target, tapi ia ingat masa kecilnya yang juga banyak mengalami masa sulit dan tidak kalah uniknya. Akhirnya, ia setuju dengan beberapa perubahan dan pembatasan. Jajanannya bukan gorengan dan harus disetujui Kepala PAUD terlebih dahulu. Ujung-ujungnya ibu guru malah membantu memasarkan dagangan Febrian dan ibunya.
Itu setahun yang lalu. Kini Febrian sudah memiliki uang yang cukup untuk membeli mobil-mobilan biru idamannya. Ia dan ibunya sudah berada di dalam toko mainan itu.
"Pak, dulu ada mobil-mobilan biru di etalase itu. Kami ingin membelinya."
Perasaan ibu Febrian tidak enak, jantungnya berdebar-debar.
"Ah sayang sekali, Bu. Mobil-mobilan itu baru saja kemarin dibeli Pak Kombes untuk anaknya, Pipin. Mereka biasa beli mainan di sini."
Meskipun sudah mengantisipasi, tetap saja jantung ibu Febrian serasa copot, dengkulnya lemas. Ia cuma bisa mengajak pulang Febrian yang membisu dan berkaca-kaca matanya.
Semenjak itu Febri menghabiskan waktu sekitar setengah jam setiap harinya berdiri di depan toko itu memandangi isi di balik jendela kaca. Pemilik toko itu pernah keluar menemuinya, memberi tahu kalau mobil-mobilan itu adalah model lama yang sudah tidak ada lagi. Tapi ia hanyalah seorang anak kecil yang belum terasah berlogika.
Tiga belas hari kemudian, pemilik toko keluar dan mengajak Febrian masuk. Di dalam ada seorang anak kecil sebaya dengan Febrian.
"Nak, ini Pipin yang akan memberikan sebuah mobil-mobilan birunya kepadamu."
Pipin punya banyak mobil-mobilan yang sama dengan berbagai warna. Yang biru ada beberapa buah, malah yang terakhir masih dalam kardusnya. Yang terbaru itulah yang dihadiahkan Pipin untuk Febrian. Kemarin Pak Kombes dan Pipin datang ke toko itu untuk belanja, pemilik toko itu menceritakan tentang Febrian kepada Pak Kombes. Begitulah mengapa ada Pipin di situ.
Ah, Pipin memang baik hati. "Terima kasih Pipin," bisik angin sejuk di bumi ini.
--- •oo 00 O 00 oo• ---
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H