Mohon tunggu...
Suyito Basuki
Suyito Basuki Mohon Tunggu... Editor - Menulis untuk pengembangan diri dan advokasi

Pemulung berita yang suka mendaur ulang sehingga lebih bermakna

Selanjutnya

Tutup

Seni Pilihan

Tari Gedrug Buto dalam Peringatan 10 Muharram

17 Juli 2024   10:48 Diperbarui: 17 Juli 2024   10:51 93
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Penari melepas topeng buto-nya (dokumen pribadi) 

Tari Gedrug Buto berasal dari lereng Gunung Merapi Magelang Jawa Tengah.  Tari yang didasari dengan gerak tari kalang kinantang atau gerak wayang gagahan ini dijogetkan dengan komposisi kelompok.  Ada sekitar 12 orang yang menari bersama-sama di panggung.

Sebagaimana namanya "Tari gedrug Buto", para penarinya menggunakan tumit mereka menggedrug atau menghentak panggung.  Kaki-kaki setiap penari yang diberi lonceng krincing, membuat setiap gerak dan hentakan kaki menimbulkan suara berderak dan bergemirincing.

Pakaian yang para penari kenakan didominasi oleh warna kuning keemasan serta rumbai-rumbai dalam pakaian mereka. Dengan demikian, saat sinar lampu panggung menerpa, maka pakaian itu akan terlihat berkilau dan bersinar.

Sesuai dengan kata "buto" yang berarti raksasa yang digunakan sebagai nama tariannya, maka para penari masing-masing mengenakan topeng buto yang memiliki berat sekitar 2.300 gram itu.  Bentuk topengnya seperti kepala binatang singa yang memiliki taring dan mata yang melotot serta rambut yang terurai. 

Mereka menari, dimulai dengan irama 1 dalam tabuhan gendhing lancaran, kemudian berubah menjadi irama 2 yang lebih lamban, menjelang diakhirinya tarian, maka irama akan kembali ke irama 1 dan berakhir dengan irama semakin "sesek" dan diakhiri dengan suwuk gropak.

Peran pengendang sebagai pengendali irama sangat berperan.  Saat dimulainya gendhing lancaran, maka pengendang hanya menggunakan kendang ketipung dan kendang bem (besar).  Namun saat irama 1 mau dijadikan irama lebih dinamis, maka pengendang akan menggunakan kendang batangan dengan model kendangan kebaran, demikian pula saat gendhing lancaran memasuki irama 2 dan saat mengakhirinya.  

Kendangan tidak perlu halus dan menampakkan berbagai dinamika seperti kendangan pada pertunjukan wayang kulit.  Kendangan dilakukan dengan tabuhan keras dan yang penting bisa menjadi kode bagaimana irama itu berjalan pelan dan kembali rancak atau sebaliknya. Dalam hal ini memang dibutuhkan pengendang usia muda dan bertenaga.

Filosofi Tarian

Tari Gedrug Buto ingin menunjukkan raksasa yang sedang marah.  Saat Raksasa marah maka akan terlihat kekuatan dan kekerasan wataknya. Watak raksasa yang keras inilah yang menjadi filosofi tekad kuat yang perlu dimiliki seseorang untuk mencapai sesuatu dalam hidupnya.  (https://solobalapan.jawapos.com/sriwedaren/2303733948/tari-buto-gedruk-tarian-yang-menyimpan-filosofi-tersembunyi-di-balik-seramnya-wajah-raksasa?page=1)

Ratusan lonceng kecil yang bergemerincing yang diikatkan di kaki pada masing-masing penari ini ingin menegaskan watak raksasa atau buto yang keras itu.  Tentunya watak buto yang negatif seperti pemarah, menindas dan menginginkan milik orang lain seperti yang ditunjukkan oleh Rahwana, tidak diakomodir dalam hal ini.

Leluasa dengan Lagu Modern

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Seni Selengkapnya
Lihat Seni Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun