Di Sebalik Srikandi-Bisma (Episode 19)
Oleh: Suyito Basuki
Â
Sebuah keramaian perayaan sekaten, berbagai pameran ekonomi dan budaya terdapat di daerah alun-alun depan kraton. Â Orang tumpah ruah memadati alun-alun kraton. Â Sebuah panggung wayang di lingkungan Pracimasono Kraton Yogyakarta, Spanduk bertuliskan:Â
WAYANG KEKAYAAN BUDAYA BANGSA: PUPUK, CINTAI DAN JANGAN DITINGGALKAN!
Pagelaran Wayang Lakon, Srikandhi -- Bisma, Sebuah Kemelut Tegal Kurusetra, Dhalang: Ki Bagas Kumarawangi Â
Saat panah menembus dada
 Musik gamelan sampak manyura, Fitri berada di deretan para pesindhen.  Nyi Sutejo salah satu pesindhennya.  Ki Sutejo memegang kendang.  Danang memainkan rebab, Joko menabuh demung.  Bagas mengeluarkan wayang Srikandhi di sebelah kanan dan Resi Bisma di sebelah kiri.  Gamelan suwuk, dhalang suluk ada-ada:Â
Katri gumulung mangrempak, korda gora reh kagiri-giri, rananggana gawe gelar ira wang-wang hooo.... Â
Dilanjutkan ucapan wayang oleh Bagas sebagai dhalang
Â
Resi Bisma, "Ora sulap panduluku, iki kaya Srikandhi kang maju ana ing palagan?"
Srikandhi ,"Kasinggihan Eyang Bisma."
Resi Bisma,"Apa wis ora ana wong lanang ing Amarta, ndadak wanodya kang ribet ing bebed sinaraya maju ing tegal kuru?"
Srikandhi,"Wanodya punika rak namung kawontenan, ananging bab mbela negari punika tanggel jawab sedaya warga, mboten miji kakung utawi pawestri."
Resi Bisma,"Lho, sira ora wedi marang kadigdayanku, Srikandhi?"
Srikandhi,"Mapan punika sampun kula antepi, punapa ingkang dados kridhanipun Sang Maha Resi badhe kula ladosi."
Resi Bisma,"Ayu tenan kowe Srikandhi, ayo suntaken kabeh aji jaya kawijayanmu. Â Lena pangendhamu, ning kene margining patimu."
Srikandhi,"Sampun ringa-ringa anggenipun njempalani kula Eyang Resi."
Gamelan iringan srepeg Manyura kembali bergema. Â Srikandhi dan Bisma terlibat peperangan. Â Dari mulai adu kekuatan fisik hingga sampai adu kesaktian memanah. Â Srikandhi nampaknya setengah hati bertanding dengan Senapati Astina ini. Â Melihat gelagat ini, Resi Bisma sengaja berusaha membuat kemarahan Srikandi. Â Resi Bisma memanah dan terlepaslah BH Srikandhi sehingga terlihat payudaranya. Â Srikandhi segera masuk ke arah kiri dan kembali sudah dengan kemben baru. Â Gamelan berhenti.
 Srikandhi,"Ora patut tenan.  Eyang Bisma, nadyan sepuh ananging pamikirane kaya bocah enom, banget olehe ora nduwe tata krama.  Kasumekanku nganti ilang tanpa lari kena dayaning panahe Eyang Bisma.  Banget anggonku kawirangan.  Ya, ya, aja girang gumuyu Eyang, iki tampanana jemparingku.  Sirna marga layu dening dayaning kemandenku!"
Srikandhi melepaskan anak panahnya. Â Saat itulah tanpa dinyana, roh dewi Amba, yang di kala hidup dikecewakan cintanya oleh Bisma, menambah energi lesatan anak panah, sehingga secepat kilat, tanpa sempat menghindar, Â Bisma tertembus dadanya, sehingga menjadi pralaya. Â Gamelan sampak berubah ke tlutur, suasana sedih, dhalang melagukan suluk kesedihan.
 Liyep netra
Pracihna nglinanging suksma
Muksweng driya
Sang raga sak nggone tiba...
Di sebuah tempat wisata di Kaliurang, senja hari berkabut. Â
 Bagas dan Fitri menikmati pemandangan alam.  Vita dan Joko ada di belakang mereka.  Para wisatawan yang lain juga berada di tempat itu.  Fitri menggandeng lengan Bagas dengan mesra.
Fitri memulai percakapan,"Selamat ya mas, pertunjukan wayangmu semalam sukses."
Bagas menjawab memperhatikan daun yang tertiup angin,"Bagaimana cara mengukur sukses. Â Dari tarian wayangnyakah atau...?"
Fitri mencubit lengan Bagas,"Jangan ngeledek, ingat lho aku ini anak dhalang, sedikit banyak tahu soal pertunjukan wayang."
Bagas mengaduh,"Anak dhalang atau istri dhalang tepatnya?"
Fitri tersenyum manja,"Ah, mas Bagas mulai menggoda."
Bagas merasa dadanya bergedug keras,"Yang jelas semalam aku semangat sekali, karena ada suporterku yang duduk di deretan depan. Pintar nyindhen juga ya?"
Fitri menjawab manja,"Istri...eh anak dhalang gitu loh..."
 Bagas menatap bangga, tertawa, "Trim's atas dorongannya."
Fitri balas menatap,"O ya, ada berita baik, sekaligus berita buruk."
Bagas menatap bertanya,"Wah kok ada berita buruknya?"
"Berita baiknya adalah komposisi tari klasikku dianggap terbaik di kelas. Â Berita buruknya adalah ada tugas mewakili mahasiswa kampusku untuk ke Bangkok bulan depan mas," Fitri menggenggam tangan Bagas.
Bagas bertanya,"Di Bangkok berapa lama?"
Fitri menjawab sendu,"Mungkin satu semester."
Bagas berhadapan dengan Fitri, memegang pundaknya dan menatapnya,""Soal baik dan buruknya tidak ada masalah, tergantung dari sisi mana kita menilainya. Â Satu hal saja, apakah kamu mau selalu mengingatku selama di negeri gajah putih itu?"
Fitri melelehkan air mata, mengangguk, menatap mata Bagas,"Tidak saja aku akan selalu mengingatmu, tetapi juga akan selalu merindukanmu mas."
Angin berhembus semilir, pepohonan pinus mengangguk-angguk. Â Di kejauhan, pohon nyiur melambai. Â Sebuah panah meembus, bukan di dada Bisma, tetapi di dada dhalangnya.
(Bersambung)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H