"Ya bu, terima kasih," ucap Bagas dengan badan menunduk. Fitri keluar dengan pakaian yang sudah ganti. Wajahnya nampak segar, walau kelihatan sedikit tegang. Membawa baki dengan minuman segar. Nyi Sutejo ke belakang. Mereka duduk bersanding.
"Maaf Mas, aku telah menyulitkanmu," Fitri memecah kesunyian. Di sodorkannya secangkir teh
hangat yang tadi dibawanya.
Bagas sambil minum berkata,"Ah tidak, justru barangkali aku yang minta maaf padamu, karena barangkali akulah yang menjadi gara-gara putusnya hubunganmu dengan Bramastho."
Fitri berkata dengan kepala tegak,"Mas lebih percaya mana, kepadaku atau Bramastho?"
"Tentu saja lebih percaya kekasihku," Bagas berkata, meletakkan cangkir tehnya. Fitri mencubit manja, dan segera merebahkan kepala di bahu Bagas. Bagas membelai rambutnya.
Fitri berbisik,"Mas takut dengan ancaman Bramastho?"
Bagas berkata pelan,"Sedikit ketakutan memang ada, tetapi tidak perlu dibesar-besarkan. Bukankah kebahagiaan dan kemalangan ada di tangan Tuhan? Bukankah tidak salah jika seorang anak manusia memiliki pengharapan hidup bersama dengan lawan jenisnya, asal itu tulus? Ketakutan akan ada, tetapi tetapi keberanian kita menghadapi segala persoalan yang ada akan menepiskan ketakutan itu seberapa pun besarnya."
Fitri semakin melekatkan sandarannya ke bahu Bagas.
Fitri manja bertanya,"Benarkah Mas Bagas mencintaiku?"
Bagas mesra berkata,"Suara hatiku tajam mengatakan begitu manisku."
Bagas mencium kening Fitri. Gelap merajai, suara-suara cenggeret dan belalang di pohon-pohon rambutan adalah penguasa malam.
(Bersambung)
Â