Mohon tunggu...
Suyito Basuki
Suyito Basuki Mohon Tunggu... Editor - Menulis untuk pengembangan diri dan advokasi

Pemulung berita yang suka mendaur ulang sehingga lebih bermakna

Selanjutnya

Tutup

Cerbung Pilihan

Di Sebalik Srikandi-Bisma (Episode 15)

5 Juni 2024   08:13 Diperbarui: 5 Juni 2024   08:35 139
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Di Sebalik Srikandi-Bisma (Episode 15)

Oleh: Suyito Basuki

 

Terpesona, tangan yang terulur dan terbuka  

 

Sebuah universitas negeri berhalaman luas, gedung-gedung bertingkat,  mahasiswa-mahasiswi hilir mudik, di siang hari yang terik. 

 Bagas yang telah menjadi mahasiswa sebuah universitas, berjalan membawa dagangan kacang ke kantin-kantin fakultas-fakultas di universitasnya.  Penjual Kantin melihat Bagas datang segera menyapa ramah,"Eh mas Bagas, yang kemarin habis.  Sekarang saya ambil lima doos yang harga Rp.5000-an."

Bagas membongkar tas yang dibawa,"Anak kedokteran suka kacang ya mbak?" Bagas bertanya sembari membongkar dagangan dan menyerahkannya serta menerima uang pembayaran barang minggu lalu.

 Penjual Kantin renyah menjawab,"Lho iya to, lagi pula kan anak-anak kedokteran kan banyak kegiatan praktek, banyak jajan, dan tentu saja banyak uang, gimana di kantin fakultas-fakultas lain?"

Bagas menjawab sambil mengusap peluh,"Lumayan."

Penjual Kantin terheran,"Eh, mas Bagas, juga jalan kaki begini terus, enggak capek?"

Bagas menjawab sambil tersenyum,"Ya capek lah mbak."

Penjual memberi tawaran,"Eh, bisa lho kalau mau pakai kendaraan motor di sini, tapi ya jelek."

"Iya, trima kasih, tidak ah, saya tak jalan saja," Bagas menjawab masih tersenyum.

"Hei, Gas, sehat-sehat nih?" Seorang mahasiswa kedokteran yang mengenal Bagas menyapa.

"Ya, beginilah, kurus yang penting sehat Pak Dokter," Bagas bercanda. Keduanya tertawa berdera-derai.

"Hei, tahu ngga' malam nanti ada pagelaran musik rock, bintang tamu dari Jakarta.   Meliput nggak nih?" tanya mahasiswa kedokteran tadi.

"Pasti dong, aku juga sudah tahu," Bagas tangkas menjawab.

"Bikin tulisan buat buletinku ya?" Mahasiswa kedokteran tadi berkata sambil menepuk pundak Bagas.

Mahasiswa lain yang mendengar berkomentar,"Ah, buletinmu tidak ngasih honor, Bagas kan biasa nulis untuk koran lokal daerah kita yang pasti ada honornya.  Ya, kan Gas?"Bagas tertawa renyah.  Yang lain pun juga tertawa.  Mahasiswa yang lagi jajan menengok keheranan, juga Penjual Kantin.

Fitri yang sedari tadi asyik mendengar cerita Bagas berujar,"Mas, cerita itu luar biasa lho, kemandirian yang patut diacungi jempol."

Bagas terseyum tipis,"Soal latar belakang politik orang tuaku gimana?"

Fitri hati-hati menjawab,"Sekarang kan sudah era yang berbeda, bukan orde baru lagi.  Kran kebebasan politik begitu terbuka.  Bahkan sekarang ini buku-buku pelajaran IPS di SMA, menurut kurikulum terbaru tidak lagi mencantumkan gerakan politik itu lagi."

Bagas menjawab kritis,"Tapi toh kejaksaan saat ini seperti kebakaran jenggot.  Mereka mengusut dan tidak terima dengan penulisan buku itu."

Fitri menarik nafas,"Ya itulah, dinamika politik.  Eh, apakah sungguh ayahmu terlibat gerakan politik yang dilabeli mengancan stabilitas negara itu?"

Bagas menerawang,"Aku tidak tahu pasti, kata ibu dan saudara-saudara, ayah sih dulu aktif di kesenian kerawitan dan pedhalangan. Terus dikait-kaitkan dengan kegiatan partai."

"Wah ternyata masih misteri juga ya?   Tapi kalau hanya soal itu kok aku kira tidak akan semua gadis ketakutan menerima keadaan mas Bagas." Fitri berkata bernada menghibur.

"Benarkah itu?   Aku sebenarnya sedang naksir seorang gadis..." Bagas tidak melanjutkan kalimatnya, sementara Fitri yang mendengarnya agak syak, lalu bertanya,"Siapa sih gadis itu?"

Bagas menjawab hati-hati penuh perasaan, sesekali melihat wajah Fitri,"Kukenal gadis itu karena aku belajar karawitan dan pedhalangan di rumah guruku.  Gadis anak guruku itu sering membawakan minuman untukku.  Wajahnya cantik, sendu, penuh ketulusan, rambutnya panjang.  Hanya saja gadis itu rasanya sudah punya pacar.  Terakhir aku lihat gadis itu bertengkar dengan pacarnya, aku tidak tahu masalahnya."

Fitri terhenyak," Mas Bagas, oh,...Tahukah kamu bahwa gadis itu saat ini tidak memiliki hubungan apa-apa dengan laki-laki yang bernama Bramastho itu?"

Muka Bagas penuh tanda tanya,"Kenapa?"

"Gadis itu tidak tahan dengan kebiasaan jelek teman dekatnya itu.  Kalau mas Bagas mau tahu, Bramastho saat ini menjadi pengguna dan pengedar narkoba di kota ini.  Gadis itu takut mas," tiba-tiba Fitri mengekspresikan muka bimbang, menggigit bibirnya.

Bagas masih bertanya,"Gadis itu tahu dari siapa?"

"Temannnya, Tommy, anak teater, seorang bekas pecandu obat-obat terlarang.  Ia memberitahu gadis itu dengan data-data valid.  Sayang Tommy sudah meninggal karena terbunuh," Fitri bergidik.

Bagas memegang bahu Fitri,"Jadi gadis itu tidak lagi memiliki pacar?" Fitri menatap sendu dan mengangguk.

Bagas terbata-bata, menatap,"Apakah gadis itu dapat menerima cintaku?  Aku mencintainya." Fitri tidak berkata, matanya berkaca-kaca.  Dibiarkannya tubuhnya luruh ke pelukan Bagas.  Ombak pantai berdebur.  Burung camar bercicit.  Angin menerbangkan dedaunan.

(Bersambung)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerbung Selengkapnya
Lihat Cerbung Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun