Bagas terseyum tipis,"Soal latar belakang politik orang tuaku gimana?"
Fitri hati-hati menjawab,"Sekarang kan sudah era yang berbeda, bukan orde baru lagi. Â Kran kebebasan politik begitu terbuka. Â Bahkan sekarang ini buku-buku pelajaran IPS di SMA, menurut kurikulum terbaru tidak lagi mencantumkan gerakan politik itu lagi."
Bagas menjawab kritis,"Tapi toh kejaksaan saat ini seperti kebakaran jenggot. Â Mereka mengusut dan tidak terima dengan penulisan buku itu."
Fitri menarik nafas,"Ya itulah, dinamika politik. Â Eh, apakah sungguh ayahmu terlibat gerakan politik yang dilabeli mengancan stabilitas negara itu?"
Bagas menerawang,"Aku tidak tahu pasti, kata ibu dan saudara-saudara, ayah sih dulu aktif di kesenian kerawitan dan pedhalangan. Terus dikait-kaitkan dengan kegiatan partai."
"Wah ternyata masih misteri juga ya? Â Tapi kalau hanya soal itu kok aku kira tidak akan semua gadis ketakutan menerima keadaan mas Bagas." Fitri berkata bernada menghibur.
"Benarkah itu? Â Aku sebenarnya sedang naksir seorang gadis..." Bagas tidak melanjutkan kalimatnya, sementara Fitri yang mendengarnya agak syak, lalu bertanya,"Siapa sih gadis itu?"
Bagas menjawab hati-hati penuh perasaan, sesekali melihat wajah Fitri,"Kukenal gadis itu karena aku belajar karawitan dan pedhalangan di rumah guruku. Â Gadis anak guruku itu sering membawakan minuman untukku. Â Wajahnya cantik, sendu, penuh ketulusan, rambutnya panjang. Â Hanya saja gadis itu rasanya sudah punya pacar. Â Terakhir aku lihat gadis itu bertengkar dengan pacarnya, aku tidak tahu masalahnya."
Fitri terhenyak," Mas Bagas, oh,...Tahukah kamu bahwa gadis itu saat ini tidak memiliki hubungan apa-apa dengan laki-laki yang bernama Bramastho itu?"
Muka Bagas penuh tanda tanya,"Kenapa?"
"Gadis itu tidak tahan dengan kebiasaan jelek teman dekatnya itu. Â Kalau mas Bagas mau tahu, Bramastho saat ini menjadi pengguna dan pengedar narkoba di kota ini. Â Gadis itu takut mas," tiba-tiba Fitri mengekspresikan muka bimbang, menggigit bibirnya.