Heboh Sultan NgapurancangÂ
Oleh: Suyito Basuki
Yogyakarta sebagai Ngarso Dalem.
Pertemuan Gubernur DIY Sri Sultan Hamengkubuwono X dengan Ketua Umum PSI Kaesang Pangarep belum lama ini menuai banyak komentar. Â Komentar-komentar itu terkait utamanya bagaimana sikap ngapurancang yang ditunjukkan Sultan yang sering disebut masyarakatBanyak komentar yang dilontarkan bahwa dalam ngapurancang, Sultan memberikan kode tertentu yang bernilai politis. Â Memang kalau diperhatikan, tangan kiri Sultan yang tertangkup oleh tangan kanan saat ngapurancang tersembul 3 jari. Â Nah inilah yang bikin heboh itu!
Arti Ngapurancang
Seorang akademisi budaya Jawa, Purwadi, sebagaimana dikutip oleh Harianjogja.com 8/1/2019 memberi komentar foto dokumentasi Dhaup Ageng Pura Pakualaman BPH Kusumo Bimantoro dengan Maya Lakhsita bersama keluarga dan Raja Kraton Ngayogyakarta Sri Sultan Hamengkubuwono beserta permaisuri.Â
Tekait dengan posisi tangan ngapurancang, Purwadi yang adalah dosen Universitas Negeri Yogyakarta ini menyebutkan bahwa sikap ini menunjukkan hormat terhadap lawan bicara, rendah hati, mau mendengarkan aspirasi pihak lain.  Dikatakan bahwa ngapurancang atau memegang tangan di depan di depan badan terbagi menjadi dua, yakni ngapurancang inggil yakni tangan kanan memegang tangan kiri di bawah pusar dan ngapurancang andhap yakni sebaliknya, tangan kiri memegang tangan kanan di bawah pusar.  Lebih lanjut dijelaskan bahwa ngapurancang inggil menunjukkan kewibawaan, sedangkan ngapurancang andhap menunjukkan posisi tahu diri akan posisinya.
Ngapurancang secara umum dipahami sebagai sikap tangan yang menunjukkan kesopanan dan menghargai lawan bicara. Â Sebaliknya ada istilah bahasa Jawa "methentheng" yakni sikap tangan yang menunjukkan kemarahan dan sikap arogan terhadap lawan bicara yang dirasa lebih rendah derajatnya. Â Sikap tangan "methentheng" adalah sikap tangan kedua tangan di kembangkan dengan cara ditekuk keduanya dan jari tangan menempel pada pinggang. Â Dalam bahasa Indonesia sikap ini disebut berkacak pinggang.
Dalam dunia pewayangan, misal saat Gathotkaca bertemu dengan pakdhenya Prabu Baladewa raja Mandura, maka Gathotkaca tangannya akan ngapurancang sebagai wujud sikap hormatnya kepada orang tua. Â Tetapi saat Gatotkaca berselisih dengan Prabu Baladewa, maka Gatotkaca tidak lagi ngapurancang tangannya , tetapi berubah menjadi "methenteng" sebuah sikap menantang kepada pakdhenya itu. Â Kalau dalam pewayangan, tataran bahasa yang digunakan oleh Gatotkaca pun berubah, yang semula krama inggil berubah menjadi ngoko.
Efek Berbeda Dibandingi Oshigi Jepang
Oshigi adalah sikap yang dilakukan oleh orang Jepang dalam menghormati lawan bicara dengan cara berdiri menundukkan badan kepada orang yang dihormati dengan dalam.  Berdasar keterangan kompasioner khrizta diaz dalam artikelnya: Keunikan Sikap Bahasa Tubuh Orang Jepang (2/7/2013), oshigi atau disebutnya ojigi menyebutkan bahwa oshigi memiliki tiga level berdasarkan intensitasnya, yakni: 1) Saikerei, yaitu level yang paling tinggi badan dibungkukkan sekitar 45 derajat atau lebih. 2) Keirei, yaitu badan dibungkukkan sekitar 30-45 derajat. 3) Eshaku, yaitu membungkukkan badan sekitar 15-30 derajat.
Barangkali inilah yang membuat Dr. Ari Prasetiyo, Dosen Prodi Jawa FIB Universitas Indonesia, berpendapat sebagaimana dikutip oleh liputan6.com 25/4/2017 bahwa ngapurancang ala Jawa dibanding oshigi memiliki efek berbeda. Â "Anda akan merasakan ketenangan batin dan kerendahan hati saat bertemu orang lain. Â Ngapurancang sendiri efektif untuk menghindari rasa berdebar yang berlebihan saat gugup dan berada di hadapan orang ramai," demikian Ari Prasetyo.
Sebuah Kode?
Kode atau sering disebut dalam bahasa Jawa dengan kata "sasmita" biasa dilakukan di kebudayaan Jawa. Â Sasmita ini bisa berupa mimik muka atau gestur badan. Â Misal mata melotot kepada anak di tengah pertemuan umum, kode bahwa orang tua marah pada kelakuan anak yang berisik atau kurang berkenan bagi orang tua. Â Dengan melihat mata orang tua yang melotot maka anak akan mengubah perilakunya sehingga lebih berkenan kepada orang tuanya.Â
Terhadap sikap ngapurancang Sultan saat bertemu dengan Kaesang, pihak Pemda DIY Â memberi penjelasan bahwa Sultan tidak ada maksud tertentu dengan pose tangan yang dipertontonkan di media sosial. Â "Itu natural saja, tidak ada maksud tertentu," demikian Ditya Nararyo Aji, Koordinator Substansi bagian Humas Biro Umum, Humas dan Protokol Setda DIY, sebagaimana dikutip news.detik.com 15/1/2024.
Meski demikian seorang netizen Princess Diana PdD dalam komentarnya terhadap artikel itu menangkap bahwa  itu adalah sebuah kode.  Katanya: "Ini adalah kode dari seorang raja yang punya tanggung jawab terhadap rakyatnya.  Mantap Sultan pilih calon yang berintegritas.  Biar bagaimanapun Sultan tidak ingin negara ini jadi rusak dan pilih calon yang sudah pasti rekam jejaknya dibandingkan calon lawannya."
Publik yang Menilai
Ada lagi komentar netizen Aryaryo yang mengaitkan pose foto ngapurancang Sultan dengan gonjang-ganjingnya masyarakat Yogyakarta terkait dengan manuver Ade Armando beberapa waktu yang lalu, tulisnya,"Kesultanan Jogja dan rakyat sudah ogah gak respek lagi sama PSI gara-gara mulutnya Armando bahkan yang bukan orang Jogja saja mungkin gak respek sama PSI."
Padahal pertemuan Gubernur DIY Sri Sultan Hamengkubuwono X dengan Ketua Umum PSI Kaesang Pangarep, menurut Kaesang sendiri sebagaimana yang dikutip detik.Jogja dari instagram @kaesangp bahwa dia sowan ke Ngarso Dalem dan banyak mendapat wejangan dari Sultan soal kepemimpinan.  Sultan sendiri hanya berkomentar singkat bahwa pertemuannya dengan Kaesang Pengarep, "Hanya silaturahmi," demikian kata Sultan saat ditemui wartawan di sela-sela kunjungan kerja di Waduk Sermo Kulon Progo, Senin 15/1/2024 (detik.com).  Tetapi memang khalayak tahu bahwa sebenarnya Kaesang Pengarep selaku Ketua Umum PSI sowan Sultan dalam upaya memperbaiki hubungan dengan Sultan dan masyarakat Yogyakarta.
Benarkah ngapurancangnya Sultan semata menunjukkan sebuah adat kesopanan atau mengandung maksud politik karena jari tangan kiri yang disembulkan  yang ditangkup oleh tangan kanan, hanya publik yang bisa menilai.  Mendekati pemilu memang segala sesuatu bisa bermacam-macam makna.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H