Mohon tunggu...
Suyito Basuki
Suyito Basuki Mohon Tunggu... Editor - Menulis untuk pengembangan diri dan advokasi

Pemulung berita yang suka mendaur ulang sehingga lebih bermakna

Selanjutnya

Tutup

Seni Pilihan

Godod Sutejo Usia 70 Tahun, Pameran 70 Lukisan dalam 70 Hari

13 Februari 2023   11:48 Diperbarui: 13 Februari 2023   15:49 869
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Rakhmat Supriyono adalah budayawan yang kerapkali mengulas lukisan-lukisan Godod Sutejo saat berpameran.  Rakhmat Supriyono sepertinya mengenal betul Godod Sutejo dan latar belakang keluarganya.  Oleh karenanya ia mendeskripsikan Godod Sutejo beserta kakak kandung dan keluarga Godod Sutejo di Giri Kikis Giriwoyo Wonogiri dengan fasihnya.  

Sebagaimana yang ditulisnya tentang Godod Sutejo ini: Godod Sutejo lahir di desa Tameng Girikikis Giriwoyo Wonogiri, 12 Januari 1953 pada jam 6.15, hari Senin Legi wuku Madangkungan. 

Anak kedua dari pasangan Siswomiharjo dan Sutihartini. Ayahnya adalah seorang Kepala Sekolah Guru Sekolah Rakyat. Namun soal pendidikan karakter, neneknya lebih dominan menanamkan prinsip-prinsip perilaku spiritual orang Jawa. Sejak kecil Godod sudah dilibatkan dalam olah batin, tirakat atau laku prihatin sebagai pondasi penting.

Godod Sutejo adalah cucu dari Ronggo Tarusarkoro, seorang penari Mangkunegaran Solo dengan pangkat Jajar Ongko Loro. Neneknya bernama Sumani, keturunan trah Banteng Lanang Kediri, selain dikenal sebagai spiritual, Eyang Sumani punya kemampuan menyembuhkan luka bakar atau luka akibat terkena api. 

Lingkungan keluarga Jawa yang memiliki kedekatan dengan Keraton Mangkunegaran Solo telah membentuk Godod Sutejo sebagai pribadi yang kokoh, pantang menyerah, dan pekerja keras. Keterlibatannya dengan ritual-ritual kejawen di masa kecil telah terekam di ruang memorinya.

Rakhmat Supriyono memberi komentar terhadap lukisan Godod Sutejo sebagai berikut:

Godod masih konsisten dengan ungkapan korelasi jagat cilik dan jagat gede. Jika pada akhir dekade 1970 dan 1980 ia banyak mengekspos pohon-pohon atau ranting-ranting secara dekoratif, belakangan ia mengurangi bahkan menghilangkan sama-sekali obyek pohon. Godod yang sekarang lebih meminimalisir obyek, menyederhanakan Gereja Kotabaru bentuk, dan menjadikan nuansa lukisan sebagai ruang kosong (emptiness) yang tenteram damai sepi.

Godod tertarik membidik ritual-ritual adat dan religius. Sebutlah karya-karyanya yang diberi judul Nungging Suryo, Sesaji Pagi, Garis Imajiner, Labuhan Parangtritis, Gereja Kotabaru, Masjid Kotagede, Rindu Kabah, dan Upacara Adat. Selebihnya adalah kehidupan masyarakat tradisional di Jawa dan Yogyakarta khususnya. Dapat disimak pada karya Panen Padi, Pesta Pitulasan, Mancing di Laut, Ke Pasar, Penjual Kayu Bakar, dan Main Bola. 

Satu keunikan yang sekaligus menjadi ciri khas karya Godod adalah, sosok-sosok manusia digambarkan sangat kecil, beraktivitas di ruang maha luas yang lengang, kosong, nglangut, dan jauh dari kebisingan. Menikmati karya-karya Godod secara tenang, pemirsa dapat terbawa pada atmosfer yang serupa: damai, ayem, tenteram, dan sunyi senyap.

Mahmoud Elqadrie: Retrospeksi & Tarekat Kontemplatif

Mahmoud Elqadrie adalah seorang penikmat seni, juga teaterawan.  Menurut pengamatannya, karya lukis Godod Sutejo bisa disebut dengan kata-kata: Retrospeksi & Tarekat Kontemplatif.  Berikut komentarnya:

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Seni Selengkapnya
Lihat Seni Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun