Peringatan Pentakosta, Tradisi Manganan dan Lelangan
Oleh: Suyito Basuki
Di kalangan gereja, setelah Paskah 40 hari kemudian terdapat peringatan kenaikan Yesus ke surga. Â Sepuluh hari kemudian dilakukan peringatan hari Pentakosta, yakni hari peringatan turunnya Roh Kudus kepada para murid dan orang percaya. Â
Keyakinan Kristen menyebut bahwa Roh Kudus adalah salah satu pribadi Trinitas yang turun setelah Yesus naik ke surga. Â Roh Kudus ini memiliki karya menuntun kehidupan orang percaya, memberi hikmat dan penghiburan manakala menghadapi berbagai pencobaan selama di dunia ini.
Peringatan hari turunnya Roh Kudus ini menjadi kegembiraan bagi umat yang percaya. Â Karya Roh Kudus yang melampaui pemikiran hikmat manusia diyakini dapat dirasakan oleh segenap umat percaya sepanjang abad dan di berbagai tempat. Â
Roh Kudus inilah yang memberikan mukjizat-mukjizat yang mendatangkan berkat bagi umat. Â Dengan demikian umat tidak merasa hidup sendirian di dunia ini, tetapi ada penuntun, penolong dan penghibur bagi mereka.
Tradisi Manganan
Di gereja kami yang berada di desa, dalam menyambut hari Pentakosta ini kami memiliki tradisi manganan. Â Kata "manganan" berasal dari akar kata bahasa Jawa "mangan" yang berarti makan. Â Kata dalam bahasa Indonesia yang bisa mewakili konsep ini adalah kata: makan bersama.
Manganan atau makan bersama ini dilakukan oleh segenap anggota jemaat, baik laki-laki atau perempuan, baik tua maupun muda, baik besar maupun kecil. Â
Pelaksanaannya adalah sebagai berikut: warga jemaat dihimbau untuk datang beribadah di gereja dengan membawa makanan yang berupa nasi, sayur dan lauk yang telah dipersiapkan dari rumah. Â Makanan-makanan yang ditempatkan di baskom atau nampan dikumpulkan di konsistori atau di tempat yang telah disediakan.Â
Usai mengadakan ibadah peringatan Pentakosta maka jemaat tetap berkumpul di gereja atau gedung pertemuan dengan duduk di kursi yang sudah ditata berhadap-hadapan. Â
Setelah pujian dan doa dinaikkan, maka tibalah makanan dibuka tudung atau penutupnya. Â Masing-masing jemaat kemudian mengambil bungkus kertas atau daun pisang atau jati yang disediakan. Â Dengan beralaskan kertas atau daun tersebut, maka jemaat makan nasi beserta lauk pauknya dengan tangan, tanpa sendok.
Usai acara makan, sisa-sisa makanan dikumpulkan.  Beberapa orang sengaja sebelumnya membungkus nasi beserta lauk secukupnya untuk dibawa pulang.  Acara manganan selain wujud ungkapan kegembiraan juga bentuk kepedulian sosial warga jemaat yang satu dengan yang lainnya.  Di sinilah  jemaat bisa saling berbagi walau dengan makanan yang tidak terlalu mewah.
Lelangan
Lelangan ini adalah kegiatan menjual dengan cara lelang hasil pertanian dan pekerjaan seluruh warga yang sebelumnya dikumpulkan. Â Proses awalnya adalah warga memberi persembahan dnegan membawa berbagai hasil pertaniannya bisa berupa gabah, beras, hasil palawija, kelapa dan lain-lain ke gereja. Â
Selain hasil pertanian, ada juga warga membawa hasil peternakannya, misal: ayam, bebek, menthok, kambing, sapi dan lain-lain. Â Warga yang memiliki usaha meubel ada juga yang membawa meubel hasil pekerjaannya. Â Ada juga warga yang tidak memiliki lahan pertanian atau usaha peternakan membeli parcel buah atau kebutuhan dapur untuk dipersembahkan.
Setelah barang-barang persembahan tersebut didata oleh panitia, maka tibalah waktunya untuk lelang. Â Biasanya harga lelang akan jauh lebih tinggi dari pada harga pasaran. Â
Jadi misalnya parcel seharga 50 ribu bisa terjual dengan harga 200 ribu. Â Yang didahulukan untuk dilelang biasanya adalah barang-barang kebutuhan sehari-hari diselang-seling dengan hasil pertanian atau hasil peternakan. Â Kemudian barang yang dilelang agak terakhir adalah kelapa dan gabah. Â
Saya pernah ikut pelelangan seekor kambing, 3 tahun yang lalu, dan kambing itu saya titipkan (dalam bahasa Jawa digadhuh-kan) pada seorang jemaat. Â
Saya beli juga tambahan satu ekor kambing yang masih muda. Saat ini sudah menjadi 9 ekor berikut induk-induknya. Â Sekedar cerita saja, kambing yang saya beli dalam lelangan beranak langsung 4 ekor!
Nilai Manganan dan Lelangan
Mungkin ada kritikan bahwa baik manganan dan lelangan merupakan kegiatan yang kurang efisien dan tidak ekonomis. Â Memang dengan menyediakan manganan, maka akan lebih sibuk daripada kegiatan pada hari-hari sebelumnya juga lebih mengeluarkan biaya untuk membuat atau pesan nasi untuk makan bersama tersebut. Â
Tetapi toh itu tidak setiap saat, hanya beberapa kali momentum saat peringatan hari besar di gereja, seperti Pentakosta ini. Â Kegembiraan saat makan bersama dan saling berbagi dengan sesama, bukankah itu suatu nilai yang tiada tara?
Lelangan mungkin dari segi waktu dan dana juga tidak efisien. Â Bayangkan, sudah memberi persembahan barang, masih juga ikut melelang dengan harga di atas rata-rata pasaran. Â
Namun jika semuanya itu dibawa kepada tujuan ekspresi kebahagiaan kita karena berkat-berkat yang telah kita terima, misal kita masih diberi kesehatan dan berkat yang melimpah sehari-hari, apakah waktu dan dana yang kita gunakan dalam lelangan masih kita keluhkan? Â Tentunya setiap warga sudah mengukur kemampuan keuangannya dalam mengikuti lelangan yang ada.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H