Mohon tunggu...
Suyito Basuki
Suyito Basuki Mohon Tunggu... Editor - Menulis untuk pengembangan diri dan advokasi

Pemulung berita yang suka mendaur ulang sehingga lebih bermakna

Selanjutnya

Tutup

Trip Pilihan

Patung Tiga Wanita Jepara: R.A. Kartini, Ratu Shima dan Ratu Kalinyamat yang Melegenda

20 April 2022   09:58 Diperbarui: 20 April 2022   20:32 5691
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Patung Tiga Wanita Jepara: R.A. Kartini, Ratu Shima dan Ratu Kalinyamat yang Melegenda

Oleh: Suyito Basuki

Patung 3 wanita Jepara (Sumber foto: sindonews.com)

Jika Anda dari arah kota Kudus, saat akan memasuki kota Jepara, Anda akan menemukan sebuah perempatan di daerah Ngabul.  

Di tengah perempatan itu dibangun patung 3 orang wanita yang melegenda baik tingkat nasional maupun bagi masyarakat Jepara sendiri.  

Ketiga patung itu menggambarkan 3 orang pejuang wanita dengan aktivitas mereka masing-masing semasa hidupnya.  Ketiga pejuang itu adalah: R.A. Kartini, Ratu Shima dan Ratu Kalinyamat.

R.A. Kartini

(Raden Ajeng) R.A. Kartini lahir di Mayong Jepara, 21 April 1879 atau tahun Jawa 28 Rabiulakhir 1808.  

Kartini anak dari RM Adipati Sosroningrat bupati Jepara dengan pasangan Ngasirah, seorang wanita biasa, anak seorang mandor pabrik gula di Mayong.  

Saat Kartini dilahirkan, RM Adipati Sosroningrat masih bekerja sebagai  Asisten Wedana onderdistrik Mayong Kabupaten Jepara. 

R.A. Kartini mendapatkan pendidikan di Sekolah Rendah Belanda, satu-satunya sekolah untuk anak-anak di kabupaten Jepara saat itu.  

Meski Kartini merasa beruntung dapat bersekolah, karena anak-anak perempuan seusianya tidak diijinkan keluar rumah, namun ia mengalami diskriminasi dalam mengenyam pendidikannya.  

Di sekolah saat itu, pemanggilan anak seorang demi seorang didasarkan warna kulit.  Yang memiliki warna kulit putih didahulukan, baru kemudian setengah putih, coklat.  

Demikian juga kedudukan murid dalam susunan kepegawaian dansusunan sosial mempengaruhi  pemanggilan anak tersebut di sekolah.  

A.I. Kairupan menceritakan pada saat pembukaan "Menadonesche School" sebagaimana yang dikutip Pramudya Ananta Toer: setelah upacara dan pidato-pidato selesai,"kemudian maka dipersilakan masuk berturut-turut: a. Anak-anaknya kepala distrik I; b. Anak-anaknya kepala distrik II; c. Anak-anaknya bekas kepala distrik; d. Anak-anaknya dokter Jawa dan guru; e. Anak-anaknya mantri cacar, penolong Injil, guru-guru bantu, pejawat dan lain-lain; f. Anak-anaknya kepala negeri (Hukum tua); g. Cucu yang kesatu dari kepala distrik; h. Anak-anak orang berbangsa lain dan anak-anak orang kaya (Panggil Aku Kartini Saja, h. 61).  

Keinginan Kartini untuk melanjutkan sekolah ke Europe Lagere School di Batavia gagal karena tidak diijinkan oleh ayahandanya. 

Hal ini yang membuat Kartini sedih luar biasa, setelah sekolah di bidang kedokteran, di mana saat itu belum ada dokter wanita, juga tidak diijinkan oleh ayahandanya.

Setelah remaja, Kartini memasuki masa pingitan.  Masa inilah yang membuat Kartini menderita kesedihan luar biasa.  

Di saat pingitan ini, Kartini memulai korespondensi dengan sahabat-sahabatnya yang rata-rata adalah orang Belanda untuk mencurahkan isi hatinya.  

Pingitan adalah kebiasaan adat Jawa yang tidak memperbolehkan seorang anak remaja wanita, terutama dari kalangan menengah ke atas, tidak diijinkan keluar rumah atau bangunan yang khusus diperuntukkan bagi dirinya, hingga sampai waktunya seorang pria datang melamar dan menjadikannya seorang istri.  

Setelah kurang lebih menjalani pingitan selama 4 tahun (1892-1896), beberapa tahun kemudian Kartini kemudian menikah dengan seorang Bupati Rembang RM Adipati Ario Djojodiningrat, 8 Nopember 1903.

Sebelum pernikahannya, Kartini membuka sekolah bagi para gadis.  Sekolah itu menurut konsepnya sebagai sekolah budi pekerti, bukan doktrinal.  

Cara pendidikannya pun berbeda dengan sekolah-sekolah pemerintah, melainkan seperti seorang ibu dalam mendidik anak-anaknya.  

Oleh karena itu, sekolah yang didirikan oleh Kartini ini tidak mau diafiliasikan dengan sekolah pemerintah.  

Kartini tidak ingin aturan-aturan pemerintah Belanda yang diajarkan di sekolah pemerintah, diterapkan di sekolah bagi para gadis ini.  

Pada masa itu, sekolah gadis yang didirikan Kartini untuk mewujudkan idenya wanita supaya  memiliki peran sederajat dengan kaum lelaki, bisa dikatakan sekolah yang didirikan Kartini, satu-satunya sekolah gadis di jajahan Hindia Belanda.  Sekolah tersebut dibuka pada bulan Juni 1903.

Kartini wafat pada tanggal 17 September 1904 di Rembang, beberapa hari setelah melahirkan putra kandungnya yang hanya seorang, RM Singgih yang kemudian diganti namanya menjadi RM Soesalit. 

Berdasarkan Keputusan Presiden Republik Indonesia no. 108 Tahun 1964 tertanggal 2 Mei 1964 yang ditandatangi oleh Presiden Republik Indonesia Soekarno, setelah menimbang RA Kartini almarhumah patut diberi penghargaan oleh Negara mengingat jasa-jasanya sebagai pemimpin Indonesia di masa silam, yang semasa hidupnya, karena terdorong oleh rasa cinta tanah air dan bangsa, memimpin suatu kegiatan yang teratur guna menentang penjajah di bumi Indonesia, serta mengingat Keputusan Pemerintah No. 217 tahun 1957 tentang pengaturan Pahlawan Kemerdekaan Nasional dan Keputusan Pemerintah No. 241 tahun 1988 tentang cara penetapan Pahlawan Kemerdekaan Nasional, maka diputuskanlah RA Kartini sebagai Pahlawan Kemerdekaan Nasional.

Dalam patung tiga wanita tersebut, Kartini diwujudkan dalam patung wanita bergelung, sedang memegang sebuah buku, seolah menggambarkan Kartini sedang mengajar.  

Memang Kartini dikenal karena aktivitasnya mengajar para gadis dalam rangka membekali para gadis memiliki kehidupan sederajat dengan kaum lelaki, sehinga terkenal dengan istilah emansipasi itu.

Ratu Shima

Pada abad ke-8 berdirilah sebuah kerajaan Kalingga, yang diperintah oleh seorang ratu yang bernama Ratu Shima.  

Ratu Shima terkenal dengan tindakannya dalam menegakkan keadilan dan kebenarannya.  Menurut cerita, pernah terjadi, salah seorang puteranya menyenggol sebuah benda berharga di tengah jalan, yang tidak jelas siapa yang punya. 

Putera Ratu Shima tersebut harus menjalani hukuman potong anggota badan yang menyenggol  atau tersenggol benda tersebut.

Pada awalnya, kerajaan Kalingga ini diperkirakan ada di dataran Dieng Kabupaten Wonosobo Jawa Tengah.  

Namun saat ditemukan benda-benda kuno yang berupa perhiasan kerajaan, termasuk di dalamnya cincin-cincin cap kerajaan Ratu Shima di desa Drojo (Donorojo?), salah satu desa yang menjadi bagian dari Kabupaten Jepara Jawa Tengah ini, sehingga kemudian diperkirakan bahwa Kerajaan Kalingga ini teletak di Jepara, bukan lagi di Dieng Wonosobo. 

Di Kabupaten Jepara saat ini terdapat kecamatan yang bernama Keling.  Ada kemungkinan juga bahwa "keling" ini ada kaitannya dengan istilah "kalingga" yang digunakan untuk kerajaan Ratu Shima tersebut.

Di dalam patung 3 wanita tersebut, Ratu Shima diwujudkan dalam bentuk patung seorang wanita yang bermahkota penguasa kerajaan dan menggenggam keris yang diacungkan tegak lurus.

Barangkali ini untuk menggambarkan keberanian Ratu Shima dalam menegakkan keadilan dan kebenaran di negara Kalingga saat itu.  

Hal yang patut diteladani penguasa baik tingkat daerah maupun tingkat nasional dalam melaksanakan pemerintahannya.  

Jangan pernah pilih kasih dalam menegakkan keadilan dan kebenaran dalam pemerintahannya.

Ratu Kalinyamat

Dalam patung tiga wanita itu, Kalinyamat digambarkan seorang wanita yang tengah menarik busur panah.  Hal ini untuk menunjukkan jiwa keprajuritannya dalam melawan bangsa kolonial Portugis kala itu.  

Ratu Kalinyamat mendapat julukan dalam bahasa Portugis: Rainha de Japara, senhora paderosa e rica, Ratu Jepara seorang wanita kaya dan berkuasa.

Dalam budaya Jawa, yang sering dimainkan dalam seni  Kethoprak, Ratu Kalinyamat ini sangat bersedih dengan kematian suaminya.  

Atas kematian suaminya ini, Ratu Kalinyamat dendam, sehingga dia melakukan "tapa wuda sinjang rambut" (bertapa dengan bertelanjang hanya berpakaian rambut), di sebuah bukit Donorojo, sebuah wilayah yang sekarang menjadi salah satu kecamatan kabupaten Jepara.  

Dalam pertapannya berkatalah ia bahwa ia akan memberi hadiah kepada siapa pun yang bisa membunuh Arya Penangsang.  Sebelum Arya penangsang terbunuh, dia tidak akan berhenti bertapa dengan cara demikian.

Tersebutlah penguasa Pajang waktu itu, Sultan Hadiwijaya yang tak lain adalah Mas Karebet atau Jaka Tingkir menyatakan sanggup melaksanakan obsesi Ratu Kalinyamat tersebut.  

Melalui anak angkatnya,  Sultan Hadiwijaya, yakni Danang Sutawijaya, akhirnya Arya Penangsang mengalami kematiannya dalam peperangan melawan Danang Sutawijaya yang didampingi oleh Ki Ageng Pemanahan.

Usai tewasnya Arya Penangsang, Kalinyamat dinobatkan sebagai bupati Jepara, menggantikan tahta suaminya, Sultan Hadlirin.  

Kalinyamat dinobatkan sebagai bupati Jepara dengan gelar Ratu Kalinyamat.  Penobatan tersebut ditandai dengan candra sengkala Trus Karya Tataning Bumi, 10 April 1549 Masehi atau 12 Rabiulawal 956 Hijriah.

Ratu Kalinyamat kemudian memperkuat armada lautnya.  Pada saat penguasa Malaka, Raja Johor meminta kerja samanya untuk memerangi Portugis yang berusaha menguasai Malaka, maka Ratu Kalinyamat menurut catatan seorang penulis berbangsa Portugis, Diego de Couto dalam bukunya De Asia, menuliskan bahwa pada tahun 1551, Ratu Kalinyamat memberangkatkan ekspedisi ke Malaka dalam jumlah cukup banyak, yakni 40 perahu besar dengan dipimpin oleh seseorang dengan sebutan Sang Adipati.  

Bergabunglah armada dari Jepara ini dengan armada maritim lain yang dari Banten, Cirebon, Aceh, Maluku dan Johor sehingga jumlahnya mencapai 200 perhau besar dengan jumlah prajurit 4000-5000 orang. 

Meski  serangan mereka kemudian digagalkan oleh Portugis, Ratu Kalinyamat mempersiapkan lagi armada-armada lautnya dengan maksud membuat benteng pertahanan jikalau Portugis menyerang melalu laut, karena saat itu akses orang masuk berkemungkinan besar melalui laut, khususnya bandar Jepara.  

Seorang tokoh yang disebut Kyai Demang yang diperintahkan oleh Ratu Kalinyamat untuk mempersiapkan armada laut, berikut melatih para prajurit dalam seni tempur.  Sultan Aceh, Sultan Ali Riayat Syah mengajak Ratu Kalinyamat untuk memerangi kembali Portugis.  

Pada tahun  1574, Ratu Kalinyamat mengerahkan pasukan lautnya.  Mereka kemudian menyerang Portugis, meski disebut sudah berhasil menguasai kawasan orang pribumi, namun serangan itu digagalkan oleh Portugis karena dari segi persenjataan Portugis memang lebih unggul.  

Dalam peperangan ini dua pertiga pasukan Jepara tewas, sebanyak 7000 orang tewas dan dimakamkan di Malaka.

Heroisme Ratu Kalinyamat dalam usaha mengusir penjajah Portugis, menjadikan seorang politisi, Lestari Moerdijat mengusulkan Ratu Kalinyamat menjadi Pahlawan Nasional kepada pemerintah. 

Bupati Jepara, Dian Kristiandi, S.Sos yang penulis temui sangat mnedukung usaha pengajuan Ratu Kalinyamat menjadi pahlawan nasional ini.  

Menurutnya jika ini bisa terwujud, akan menjadi kebanggaan lagi bagi masyarakat Jepara, selain kebanggaan kepada R.A. Kartini.  "Pengajuan awal ditolak, tetapi setelah ada bukti-bukti lagi tentang perjuangan Ratu Kalinyamat dari berbagai referensi yang ada di luar negeri, semoga kali ini pemerintah memberikan gelar pahlawan nasional itu kepada Ratu Kalinyamat," demikian urai Bupati, Dian Kristiandi yang akan mengakhiri masa jabatannya pada akhir April 2022 ini.

Pasar Durian Ngabul (Sumber Foto: murianews.com)
Pasar Durian Ngabul (Sumber Foto: murianews.com)

Semoga saja, harapan Bupati dan masyarakat Jepara dapat segera terwujud dalam hal ini.  Oh ya, jika Anda pecinta kuliner buah durian, di depan monumen ke-3 patung wanita itu juga terdapat Pasar Ngabul yang dikhususkan menjual buah  durian.  

Di tengah pasar itu terdapat patung durian.  Silakan, sambil menikmati takjil di saat buka puasa, melihat patung 3 wanita yang lokasinya selalu ramai dikunjungi masyarakat Jepara, jangan lupa nikmati juga buah duriannya.

Sumber Penulisan:

Priyanto, Hadi: Ratu Kalinyamat Rainha de Jepara, Semarang: Yayasan Kartini Indonesia, 2018

Soeroto, Sitisoemandari: Kartini Sebuah Biografi, Jakarta: Gunung Agung, 1984

Toer, Pramudya Ananta:  Panggil Aku Kartini Saja, Jakarta: Lentera Dipantara, 2007

Wawancara dengan Bupati Jepara, 13 Januari 2022

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Trip Selengkapnya
Lihat Trip Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun