Meski Kartini merasa beruntung dapat bersekolah, karena anak-anak perempuan seusianya tidak diijinkan keluar rumah, namun ia mengalami diskriminasi dalam mengenyam pendidikannya. Â
Di sekolah saat itu, pemanggilan anak seorang demi seorang didasarkan warna kulit. Â Yang memiliki warna kulit putih didahulukan, baru kemudian setengah putih, coklat. Â
Demikian juga kedudukan murid dalam susunan kepegawaian dansusunan sosial mempengaruhi  pemanggilan anak tersebut di sekolah. Â
A.I. Kairupan menceritakan pada saat pembukaan "Menadonesche School" sebagaimana yang dikutip Pramudya Ananta Toer: setelah upacara dan pidato-pidato selesai,"kemudian maka dipersilakan masuk berturut-turut: a. Anak-anaknya kepala distrik I; b. Anak-anaknya kepala distrik II; c. Anak-anaknya bekas kepala distrik; d. Anak-anaknya dokter Jawa dan guru; e. Anak-anaknya mantri cacar, penolong Injil, guru-guru bantu, pejawat dan lain-lain; f. Anak-anaknya kepala negeri (Hukum tua); g. Cucu yang kesatu dari kepala distrik; h. Anak-anak orang berbangsa lain dan anak-anak orang kaya (Panggil Aku Kartini Saja, h. 61). Â
Keinginan Kartini untuk melanjutkan sekolah ke Europe Lagere School di Batavia gagal karena tidak diijinkan oleh ayahandanya.Â
Hal ini yang membuat Kartini sedih luar biasa, setelah sekolah di bidang kedokteran, di mana saat itu belum ada dokter wanita, juga tidak diijinkan oleh ayahandanya.
Setelah remaja, Kartini memasuki masa pingitan. Â Masa inilah yang membuat Kartini menderita kesedihan luar biasa. Â
Di saat pingitan ini, Kartini memulai korespondensi dengan sahabat-sahabatnya yang rata-rata adalah orang Belanda untuk mencurahkan isi hatinya. Â
Pingitan adalah kebiasaan adat Jawa yang tidak memperbolehkan seorang anak remaja wanita, terutama dari kalangan menengah ke atas, tidak diijinkan keluar rumah atau bangunan yang khusus diperuntukkan bagi dirinya, hingga sampai waktunya seorang pria datang melamar dan menjadikannya seorang istri. Â
Setelah kurang lebih menjalani pingitan selama 4 tahun (1892-1896), beberapa tahun kemudian Kartini kemudian menikah dengan seorang Bupati Rembang RM Adipati Ario Djojodiningrat, 8 Nopember 1903.
Sebelum pernikahannya, Kartini membuka sekolah bagi para gadis. Â Sekolah itu menurut konsepnya sebagai sekolah budi pekerti, bukan doktrinal. Â