Akale saya wasis, pranyata wasis dadi kembanging kidung
Eee, hake, negarane kancil nyata jembar laladane
(Kancil-kancil itu,
Akalnya semakin cerdik, sungguh cerdik menjadi utamanya lagu
Eee, hake, negaranya kancil sungguh luas wilayahnya)
Cuplikan syair di atas adalah cuplikan dari tembang atau lagu yang dinyanyikan dalam gendhing srepeg Wayang Kancil dalam nada pelog pathet nem.
Setelah wayang-wayang dalam bentuk binatang atau dalam bentuk orang dihadirkan lengkap dalam adegan jejer maka irama srepeg diperlambat, dan saat itulah dhalang mendeskripsikan adegan pertama itu, siapa saja yang hadir, bagaimana suasana dan gambaran lain secukupnya.
Setelah gendhing srepeg kembali mengalir dalam irama dan tempo semula maka kemudian oleh dhalang, para pengrawit akan diberi tanda berupa tanda berupa dhodhogan (ketukan) pada kotak wayang penanda suara gamelan diminta berhenti. Setelah itu iringan gamelan akan melambat dan benar-benar berhenti.
Saat itulah dalang akan melagukan suluk dengan memakai kerangka tembang macapat, bisa bentuk Pocung, Gambuh atau bentuk lainnya yang dikuasai atau dipersiapkan oleh ki dalang.
Saya pernah memainkan Wayang Kancil di kampus Universitas Kristen Immanuel Yogyakarta. Saat itu ada sebuah Yayasan Pengembangan Anak yang dalam sebuah event mengadakan pagelaran tradisional, yakni Wayang Kancil.
Sebenarnya mereka belum paham benar dengan Wayang Kancil, sayalah yang memberi usul karena kebetulan saya sedang belajar Wayang Kancil pada empunya, yakni Ki Lejar Subroto yang bertempat tinggal di daerah Suryatmajan dekat Malioboro Yogyakarta. Akhirnya jadilah kami memainkan Wayang Kancil dengan para penabuh, rekan-rekan dari desa Cupuwatu, Kalasan, Sleman Yogyakarta.
Rekan-rekan penabuh ini, setidaknya seminggu sekali, bahkan lebih berlatih di rumah joglo tempat saya kos. Durasi pertunjukan saat itu berkisar 2,5 jam. Lumayanlah untuk pertunjukan buat anak-anak.
Untuk pertunjukan tersebut, atas saran Ki Lejar Subroto, saya meminjam kepada Sanggar Budaya Minomartani yang memang memiliki satu set wayang kancil yang terbuat dari kulit.
Wayang yang berupa hewan-hewan seperti macan, ular, banteng, gajah dan lain-lain disimping (ditata) di atas batang pisang di sebelah kiri dan di sebelah kanan dalang. Secara penataan panggung, persis sama dengan penataan panggung pada wayang purwa, ada layarnya juga.
Kebetulan saya menggunakan crew dan panggung wayang purwa yang biasa saya gunakan saat memainkan wayang purwa pada waktu itu.
Bagi Ki Lejar Subroto, pertunjukan wayang kancil sebenarnya bisa dilakukan tanpa properti panggung seperti itu. Bahkan tanpa layar pun pertunjukan itu bisa dilakukan, hal itu malah memberi nilai lebih yaitu dalang bisa berkomunikasi langsung dengan penonton yang rata-rata anak-anak, yang menonton di belakang panggung.
Bagaimana Ki Lejar Subroto bisa melahirkan Wayang Kancil?
Menurut sebuah jurnal karya Elia Yehosyua Cristofanus Agapetus Program Studi Seni Pedalangan Fakultas Seni Pertunjukan Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta yang berjudul: PERTUNJUKAN WAYANG KANCIL GAYA KI LEDJAR SUBROTO, dijelaskan bahwa Ki Lejar Subroto adalah penerus gerakan pertunjukan Wayang Kancil sebelumnya.
Dalam jurnal tersebut dijelaskan bahwa Wayang Kancil sudah ada pada zaman Kasunanan Giri lalu muncul kembali pada masa Bo Liem, pada tahun 1925.
Wayang Kancil kemudian muncul kembali dan dibawakan oleh RM.Sayid. Di Surakarta Wayang Kancil kemudian dibawakan oleh Blacius Subono.
Pada tahun 1973 muncul lagi dan dibawakan oleh Bambang Murtiyoso. Pada tahun 1980 Ki Ledjar Subroto mulai kembali menghidupkan Wayang Kancil.
Sayang sekali Ki Lejar Subroto tidak bisa melanjutkan karyanya, beliau meninggal di usia 79 tahun pada Sabtu, 23 September 2017.
Kepada penulis, Ki Lejar Subroto yang sejatinya bernama Djariman terlahir tanggal 20 Mei 1938 di desa Sapuran, Wonosobo ini pernah bercerita bahwa dia belajar wayang kulit di padepokan Ki Narto Sabdo Semarang.
Jika rekan-rekannya seperti Ki Manteb Sudarsono eksis dengan wayang purwa, maka Ki Lejar Subroto ini bertekat menghidupkan wayang kancil, sebuah wayang alternatif yang saat itu tidak populer.
Ki Lejar Subroto ini tidak saja memainkan Wayang Kancil, tetapi juga membuat Wayang Kancil dengan desain-desain yang ia buat supaya wayang semakin terlihat dinamis bergerak dan hidup di depan penontonnya, misal untuk anak wayang kancil dan binatang lain, ia buat "tanganan" atau "sikilan" yang bisa digerak-gerakkan.
Wayang Kancil Ki Lejar Subroto ini ternyata membawa magnet budaya. Terbukti tidak saja orang-orang dalam negeri yang mempelajari Wayang Kancil darinya, tetapi orang-orang dari luar negeri pun terinspirasi dan belajar wayang kancil padanya.
Ki Lejar Subroto pernah menunjukkan foto seorang murid dari luar negeri yang di negerinya memainkan wayang kancil tanpa iringan gamelan, dan itu pun menurut penuturan Ki Lejar Subroto sudah menarik.
Memang, Wayang Kancil ini dari segi cerita yang terambil dari dunia fabel, sudah menarik bagi anak-anak yang menontonnya. Apalagi dengan menokohkan kancil, seekor binatang yang sudah dikenal di kalangan anak-anak. Di kalangan anak-anak, kancil sudah diprototipekan sebagai tokoh protagonis yang cerdik dan banyak akalnya.
Kisah kancil yang sudah melekat di hati anak-anak karena sering guru sekolah dasar atau orang tua mereka menceritakannya adalah: Kancil Nyolong Timun, Kancil Memperdaya Buaya, Kancil Penjaga Gong Nabi Sulaiman dan lain-lain.
Kancil iku,
Pamikire saya maju
Tekan Ukraina, mratelakke prihatine
Nyang Rusia ngrembug bedhamen sak donya
(Kancil itu,
Pikirannya semakin maju
Sampai di Ukraina, menyatakan prihatinnya
Ke Rusia membicarakan perdamaian se dunia)
Ini suluk Wayang Kancil yang tiba-tiba saya buat saat menulis artikel ini. Suluk ini mengambil pola tembang macapat. Dalam suluk ini saya menggambarkan bahwa kancil tidak saja pikirannya terbatas pada bagaimana memperdaya Pak Tani, harimau, buaya, banteng dan binatang-binatang lainnya.
Kancil di sini sudah hidup dengan isu-isu global yang sedang urgen dibahas di mana-mana. Isu itu adalah soal perang antara Rusia dan Ukraina.
Presiden Vladimir Putin tetap saja kukuh tetap menginvasi Ukraina. Bahkan saat tulisan ini dibuat, ada berita yang menyatakan semakin banyak pengungsi yang keluar dari Ukraina dan ada ratusan WNI yang semula bekerja atau belajar di Ukraina sudah kembali ke Indonesia.
Fasilitas persenjataan nuklir di Chernobyl sudah dikuasai Rusia. Sementara itu Presiden Ukraina, Volodimir Zelensky bersikukuh tidak akan meninggalkan ibukota Kiev dan akan tetap mempertahankannya apa pun resikonya.
Pemerintah Ukraina juga tengah membujuk Indonesia yang anti komunis untuk membela Ukraina yang pernah menjadi bagian dari negara Uni Soviet ini pada masa Uni Soviet berjaya.
Dalam pikiran saya, jika Wayang Kancil dipentaskan saat ini, maka kontribusi yang bisa diberikan haruslah seputar perdamaian global yang menjadi impian banyak makhluk di dunia ini.
Bagaimana kehancuran perang jika berlanjut perlu dideskripsikan. Tidak perlu memperbesar konflik pribadi atau negara, menjadi percakapan di antara tokoh-tokoh fabel tersebut.
Semua pihak hendaknya saling menahan diri dalam konteks peperangan Rusia versus Ukraina juga menjadi titik simpul dari cerita Wayang Kancil yang dibangun dalam pagelaran.
Muara ceritanya adalah perdamaian kita butuhkan sebagai sarana membangun dunia sehingga bumi yang kita tempati menjadi semakin nyaman karena manusianya hidup saling menghormati satu sama lain.
Anak-anak yang menjadi penonton Wayang Kancil ini biarlah terinspirasi sehingga pola hidup yang damai satu sama lain, sudah tertanam di diri mereka sejak dini.
Kancil-kancil iku
Akale saya wasis, pranyata wasis dadi kembanging kidung
Eee, hake, negarane kancil nyata jembar laladane
(Kancil-kancil itu,
Akalnya semakin cerdik, sungguh cerdik menjadi utamanya lagu
Eee, hake, negaranya kancil sungguh luas wilayahnya)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H