Mohon tunggu...
Suyatno
Suyatno Mohon Tunggu... Mahasiswa - Fresh Graduate

Hai, nama saya Suyatno. Hobi saya adalah menulis. Saya menyukai menulis karena bagi saya menulis menjadi ruang untuk mengekspresikan ide dan kegelisahan atas sesuatu. Tulisan saya banyak terinspirasi dari nilai-nilai dan etik yang saya temukan dalam kehidupan sehari-hari. Selain itu, menulis juga bagi saya adalah tempat belajar yang menarik karena dengan menulis saya dapat melihat kekurangan yang ada pada diri saya.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

2 Bulan Sudah Haji? Potret Gelar Haji di Indonesia

7 Juli 2024   14:40 Diperbarui: 7 Juli 2024   14:51 78
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Apa itu haji?

Istilah haji menjadi salah satu rukun Islam sekaligus tiang agama. Dalam buku Muslimah Career karya Aminah sebagaimana dikutip dari jurnal Gelar Haji Sebagai Stratifikasi Sosial Pada Masyarakat. Rasulullah SAW mengatakan bahwa Islam dibangun oleh lima pilar diantarannya; syahadat, sholat, zakat, puasa, dan melaksanakan ibadah haji bila mampu. Sehingga menunaikan ibadah haji merupakan kewajiban bagi umat muslim di seluruh dunia.

Haji adalah berziarah ke baitullah pada waktu-waktu tertentu untuk melaksanakan serangkaian amalan yang ditentukan oleh syariat dengan niat ibadah. Seorang muslim dapat melaksanakan ibadah haji dengan catatan memenuhi syarat seperti baligh, berakal, mampu baik dari materi ataupun fisik, mempunyai ilmu, serta kesanggupan untuk beribadah dengan benar.

Gelar haji

Di negara Indonesia, umat muslim yang selesai menunaikan ibadah haji akan disematkan gelar haji. Fenomena ini sangat eksis dan menjadi realitas sosial yang berkembang di tengah masyarakat Indonesia. Tentu gelar haji tidak lahir begitu saja, melainkan sebagai bagian dari perjalanan sejarah.

Menurut Dadi Darmadi, seorang antropolog dari UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, fenomena penyematan gelar haji di Indonesia dapat dipotret dari tiga perspektif yaitu, kolonial (sejarah), sosial, dan keagamaan.  Berikut ini adalah paparannya;

Gelar haji dalam potret sejarah

Fenomena gelar haji dari potret sejarah tidak lepas dari peran pemerintah Kolonial Belanda. Dalam sebuah literatur, pendapat yang mempopulerkan gelar haji yaitu pemerintah Kolonial Belanda. Pada masa itu orang yang pulang dari ibadah haji disematkan gelar haji sebagai penanda karena pemerintah Kolonial Belanda khawatir orang-orang tersebut terpapar ideologi antikolonialisme selama di tanah suci.

Pemerintah Kolonial Belanda takut jika suatu hari terjadi pemberontakan dari orang-orang di Indonesia yang dipelopori oleh para haji seperti kasus perang jihad Palembang, perang jihad Cilegon dan pemberontakan Mutiny di India. Hal ini mengingat kedudukan haji dalam masyarakat Indonesia yang sangat dihormati sehinngga berpeluang jamaah haji menjadi seorang pemimpin. Kemudian melalui kuasanya sebagai pemimpin ia dapat menggerakkan umat muslim untuk melakukan perlawanan terhadap penjajahan.

Seiring dengan meningkatnya jumlah calon jamaah haji pada masa itu, pemerintah Kolonial Belanda mendapatkan keutungan ekonomi yang cukup besar apabila melakukan monopoli terhadap prosesi ibadah haji.

Maka kemudian mereka membuat regulasi dengan harapan bukan soal keuntungan semata, melainkan bahwa peraturan tersebut juga membebani jamaah dari segi biaya dan dapat digunakan untuk memantau kegiatan jamaah selama menjalankan ibadah haji di Makkah hingga kepulangan mereka ke tanah air.

Deandels adalah pemerintah Belanda pertama yang merealisasikannya melalui Stbl. No. 42, 1859. Peraturan ini dikeluarkan tidak hanya untuk alasan keamanan tetapi juga sebagai alat untuk memantau jumlah jamaah haji yang berangkat, dengan tujuan mempersulit jamaah yang ingin berangkat sehingga diharapkan jumlah jamaah yang melaksanakan ibadah haji berkurang.

Puncaknya, peraturan tentang pelaksanaan ibadah haji secara resmi dikeluarkan kembali oleh pemerintah Belanda pada tahun 1859, pada masa Gubernur Jenderal Ch.F. Pahud (1856-1861), yang dikenal sebagai Pelgrims Ordonantie. Peraturan ini merupakan regulasi haji pertama yang dimuat dalam Staatbland Van Nederlandsch-Indie pada tanggal 6 Juli 1859 No. 42.

Dalam ordonansi ini, pemerintah Belanda menetapkan peraturan yang mencakup pas jalan haji, persyaratan ekonomi, persyaratan administrasi haji, serta ujian haji dan biaya denda.

Selain itu, pemerintah Belanda menetapkan kebijakan ini sebagai alat untuk memperkenalkan langkah-langkah baru, seperti penggunaan "gelar haji". Keterkaitan gelar haji dengan sejarah ibadah haji di masa Kolonial menunjukkan bahwa gelar tersebut berakar dari tindakan arogansi Belanda yang memegang kekuasaan di Nusantara.

Belanda memberlakukan kebijakan ketat untuk mengawasi masyarakat pribumi yang dianggap mengancam kekuasaannya. Pelaksanaan ibadah haji saat itu memiliki nuansa politik yang kuat, karena Belanda berusaha mengalihkan simpati kaum muslimin Indonesia dan mengendalikan jamaah haji agar tidak melakukan tindakan yang merugikan kepentingan Kolonial.

Gelar haji dalam potret sosial

Fenomena gelar haji di Indonesia juga dapat dilihat dari potret sosial. Dalam masyarakat ada anggapan yang berkembang bahwa orang yang memliki status haji dinilai baik agamanya. Orang yang bergelar haji selalu dilibatkan dalam kegiatan keagamaan ataupun kemasyarakatan sehingga orang-orang di sekitar menghormatinya. Orang dengan gelar haji juga menduduki peran penting di tengah masyarakat, misalnya dianggap sebagai pemimpin atau penasihat. 

Mereka yang telah menyandang gelar haji diberikan peran seperti menjadi imam sholat atau menjadi penasihat dalam kelompok masyarakat tertentu. Masyarakat juga menganggap orang yang sudah bergelar haji telah menyempurnakan agamanya dan dipandang memiliki ekonomi yang tinggi.

Secara tidak langsung orang yang bergelar haji dianggap sebagai orang kaya sehingga meningkatkan stratifikasi sosial dalam masyarakat. Walaupun nyatanya tidak semua orang yang bergelar haji adalah orang kaya namun tetap saja mereka menduduki golongan tinggi di dalam masyarakat.

Contoh yang sering dilihat dalam kehidupan sehari-hari adalah ketika ada acara pengajian atau pernikahan seringkali mereka yang berstatus haji mendapatkan kehormatan dan pelayanan khusus baik dari tempat, hidangan dan jamuan oleh penyelenggara acara.

Namun sebagian masyarakat juga menganggap bahwa gelar haji digunakan sebagai identitas diri yang menunjukkan mereka sudah menunaikan ibadah haji. Penyematan gelar haji dari potret sosial tidak lepas dari sejarah perjuangan menunaikan ibadah haji pada masa pra kemerdekan.

Orang-orang yang akan menunaikan ibadah haji harus siap menaggung biaya besar dan perjalanan yang memakan waktu berbulan-bulan berlayar menggunakan kapal di lautan.

Orang yang berangkat haji belum tentu sampai ke tanah suci dan orang yang selesai menunaikan ibadah haji belum tentu selamat sampai ke tanah air. Sehingga untuk menuaikan haji pada zaman itu juga diperlukan kesiapan mental dan fisik yang kuat. Karena perjalanan dan rintangan yang berat, kisah perjalanan haji orang zaman dahulu menjadi cerita yang inspiratif, penuh makna, dan kaya akan nilai-nilai heroik. Sehingga disematkan gelar haji kepada orang yang telah berhasil melaksanakan ibadah haji sebagai bentuk penghormatan.

Gelar haji dalam potret agama

Dalam Islam kedudukan menunaikan ibadah haji adalah wajib bagi siapa yang mampu melaksanakannya. Mampu disini merujuk pada kemampuan secara fisik, materi, keluarga yang ditinggalkan, dan pastinya kemampuan terkait seluk beluk haji itu sendiri. Para ulama menyatakan bahwa jika seseorang tidak dapat mengunjungi rumah Allah, mereka sebaiknya mengundang Allah ke dalam hati mereka dan mengamalkan simbol-simbol haji di tempat tinggalnya. 

Simbol-simbol haji termasuk berpakaian ihram untuk menanggalkan keangkuhan, bertawaf di sekitar Ka'bah yang berarti mengarahkan semua aktivitas sesuai perintah Allah, serta sa'i antara Shafa dan Marwah yang melambangkan usaha dari kesucian menuju kepuasan. Melontar setan berarti menjadikan setan sebagai musuh utama yang harus dilawan selama hidup. Simbol-simbol ini dapat diamalkan kapan dan di mana saja.

Dalam buku Quraish Shihab Menjawab oleh M. Quraish Shihab, disebutkan bahwa gelar haji sebenarnya tidak dikenal dalam Islam, namun penggunaannya tidak dilarang.

Sejalan dengan pernyataan tersebut, dalam buku Qur'an and Answer yang disusun oleh Dewan Pakar Pusat Studi Al-Qur'an (PSQ), dijelaskan bahwa Rasulullah SAW dan para sahabat tidak menggunakan gelar haji di depan nama mereka meskipun telah menunaikan ibadah haji. Meski begitu, tidak ada larangan dalam Islam untuk menggunakan gelar haji.

Ahmad Sarwat dalam Ensiklopedia Fikih Indonesia: Haji dan Umrah menjelaskan bahwa gelar haji bukanlah gelar yang ditetapkan secara syar'i. Gelar ini muncul pada zaman tertentu dan di kelompok tertentu, khususnya di Indonesia. Secara hukum, gelar haji tidak dilarang, namun niat individu sangat menentukan. Jika seseorang menggunakan gelar tersebut untuk mendapatkan pujian atau terlihat lebih beriman dan bertakwa, maka hal itu bertentangan dengan ajaran Islam.

Jadi penyematan gelar haji di Indonesia merupakan bagian sejarah yang panjang bangsa itu sendiri. Dari potret sejarah dan potret sosial, penyematan gelar haji bagi orang-orang yang telah melaksanakan ibadah haji adalah bentuk stereotipe dan penghormatan. Ada berbagai nilai yang patut untuk dipelajari seperti keteguhan hati, dan nilai spiritual yang dapat dijadikan tuntutan agar menjadi pribadi yang lebih baik.

Di Indonesia gelar haji merupakan fenomena budaya. Sementara dalam potret agama Islam, gelar haji sebenarnya tidak dikenal dalam Islam dan tidak digunakan oleh Rasulullah SAW serta para sahabat. Tetapi penggunaan gelar ini tidak dilarang dalam Islam, namun niat di balik penggunaannya penting.

Sumber rujukan;

Bellla Fitria Wulandari, Gelar Haji Sebagai Stratifikasi Sosial Pada Masyarakat, Dalam Jurnal Ilmiah Sosiologi Agama, Vol. 6, No. 1, Tahun 2023

Aldhania Uswatun Hasanah, Kolonialisasi Gelar Haji: Inisiasi Belanda Waspadai Perlawanan Umat, Dalam Jurnal Ilmiah Keagamaan Dan Kemasyarakatan

Aminah, Muslimah Career, Galang Press Publisher, 2019

Agustang, Simbolik Haji: Studi Deskriptif Analitik Pada Orang Bugis, 2018


M Quraish Shihab, M. QURAISH SHIHAB MENJAWAB 1001 Soal KeIslaman Yang Patut Anda Ketahui, Lentera Hati, Tahun 2008

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun