Bila dicermati komentar masyarakat di setiap pemberitaan tewasnya Brigadir J, ada ketidakpercayaan publik terhadap kinerja kepolisian dalam mengungkap perkara ini.
Kapolri merespon ketidakpercayaan publik demikian dengan membentuk Tim Khusus.Â
Sayangnya, Tim Khusus jarang menyampaikan secara langsung perkembangan penanganan kasus ini, paling jauh hanya melalui Kadivhumas Polri.Â
Kadivhumas Polri, dalam berbagai pernyataannya, hampir selalu menyebut akan melakukan "pembuktian ilmiah" (scientific crime investigation/SCI) untuk menjawab keraguan publik.
Publik tidak semua paham bahwa SCI tidak bisa diterapkan pada keterangan saksi-saksi. Padahal, keterangan saksi-saksi sangat rawan direkayasa.
SCI paling jauh diterapkan untuk olah tempat kejadian perkara (TKP), menilai barang bukti (alat-alat atau barang yang digunakan dalam tindak pidana), dan otopsi.
Keterangan saksi-saksi tidak bisa diinvestigasi pakai metode SCI. Karena keterangan saksi-saksi ya hanya menyangkut apa yang dilihat, didengar atau dialami sendiri oleh saksi.
Pada sisi lain, keterangan saksi-saksi merupakan alat bukti utama atau alat bukti dengan hirarki peringkat paling atas, berdasarkan Pasal 184 KUHAP.
Sebagaimana diketahui, urutan alat bukti menurut Pasal 184 KUHAP meliputi keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk, dan keterangan terdakwa.
Sebagai catatan kaki, konsep "alat bukti" berbeda dengan "barang bukti".Â
Alat-alat bukti merupakan instrumen untuk membuktikan adanya peristiwa pidana dan siapa pelakunya. Sedangkan barang bukti merupakan alat-alat atau barang yang digunakan dalam peristiwa pidana tersebut.
Untuk terbuktinya suatu tindak pidana dan siapa pelaku yang bertanggung jawab dengan menimal dua alat bukti di atas, misalnya keterangan dua orang saksi yang bersesuaian satu sama lain ditambah dengan pendapat ahli.
Dalam hal ini, hanya saksi (termasuk CCTV) yang bisa secara tegas menunjuk siapa penembak Brigadir J dan siapa dalangnya.Â
Alat bukti lain tak bisa segamblang saksi/CCTV.Â
Pertanyaannya, bagaimana andai saksi-saksi (termasuk saksi pelapor) mengarang cerita? Metode SCI tak leluasa mengungkap masalah begini.
Ambil contoh dalam pra-rekonstruksi di rumah dinas Kadivpropam, Jumat (22/7).Â
Polri lebih banyak menggunakan alat bukti keterangan saksi, yang menyebut kejadiannya di rumah dinas Kadivpropam Polri, maka pra-rekonstruksi dilakukan di sana tanpa kehadiran Irjen Ferdy Sambo dan istri.
Tak hadirnya Irjen Ferdy Sambo sudah sesuai narasi yang dibangun sebelumnya, bahwa ybs tidak berada di TKP waktu peristiwa terjadi, sedang tes PCR. Tapi mengapa istrinya tak dihadirkan?
Pada sisi lain, penasihat hukum keluarga korban Brigadir J menyebut dugaan locus delicti atau TKP antara Magelang dan Jakarta (rumah dinas Kadivpropam), berdasarkan bukti-bukti yang dipegangnya.
Informasi bertolak belakang dari kubu Polri dan penasihat hukum demikian akan jadi pemicu kontroversi di tengah masyarakat
Atas kontroversi itu, jargon pembuktian ilmiah yang digunakan Polri justru bisa melahirkan keraguan publik, yakni bagaimana andai digunakan untuk alibi melindungi pelaku?
Publik sangat curiga oknum Polri bermain api, atas dasar solidaritas, melindungi pelaku sebenarnya dengan mengarang cerita. Indikasi ini terlihat dari berubah-ubahnya keterangan resmi yang keluar dari bagian Humas Polri.
Tidak ada pilihan lain bagi Polri. Satu-satunya jalan hanya mengungkap kasus tewasnya Brigadir J sampai tuntas, sampai ke pelaku utama, siapa saja yang membantu, dan dalangnya.
Intinya, Polri mesti berkerja berorientasi pada hasil untuk mengungkap kebenaran materil, kebenaran yang sesungguhnya, dalam perkara ini.Â
Publik tak peduli apakah penyidikan pakai metode konvensional dan/atau pakai SCI. Yang penting kasus ini terungkap secara tuntas dan menjawab keraguan publik.
Sekalipun penyidikan pakai metode SCI, tapi kalau hasilnya bertolak belakang dengan logika publik, maka nama baik Polri jadi taruhannya. Pasalnya, masyarakat sebenarnya sudah tahu dan yakin siapa dalang kasus ini.
Polri tidak bisa hanya berlindung di balik SCI. Lalu menganggap tugasnya sudah selesai. Nama baik Polri dan penegakan hukum secara umum menjadi taruhannya.
Di atas semua itu, Kejaksaan selaku pengendali perkara atau dominus litis sangat ditunggu peranannya untuk mengawasi, mengontrol, memberi petunjuk, bahkan kapan perlu turun langsung ke lapangan.
Terus terang ya, pak jaksa, publik tidak percaya pada "jeruk makan jeruk". Peranan Anda sangat ditunggu.(*)
SUTOMO PAGUCI
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H