Alat-alat bukti merupakan instrumen untuk membuktikan adanya peristiwa pidana dan siapa pelakunya. Sedangkan barang bukti merupakan alat-alat atau barang yang digunakan dalam peristiwa pidana tersebut.
Untuk terbuktinya suatu tindak pidana dan siapa pelaku yang bertanggung jawab dengan menimal dua alat bukti di atas, misalnya keterangan dua orang saksi yang bersesuaian satu sama lain ditambah dengan pendapat ahli.
Dalam hal ini, hanya saksi (termasuk CCTV) yang bisa secara tegas menunjuk siapa penembak Brigadir J dan siapa dalangnya.Â
Alat bukti lain tak bisa segamblang saksi/CCTV.Â
Pertanyaannya, bagaimana andai saksi-saksi (termasuk saksi pelapor) mengarang cerita? Metode SCI tak leluasa mengungkap masalah begini.
Ambil contoh dalam pra-rekonstruksi di rumah dinas Kadivpropam, Jumat (22/7).Â
Polri lebih banyak menggunakan alat bukti keterangan saksi, yang menyebut kejadiannya di rumah dinas Kadivpropam Polri, maka pra-rekonstruksi dilakukan di sana tanpa kehadiran Irjen Ferdy Sambo dan istri.
Tak hadirnya Irjen Ferdy Sambo sudah sesuai narasi yang dibangun sebelumnya, bahwa ybs tidak berada di TKP waktu peristiwa terjadi, sedang tes PCR. Tapi mengapa istrinya tak dihadirkan?
Pada sisi lain, penasihat hukum keluarga korban Brigadir J menyebut dugaan locus delicti atau TKP antara Magelang dan Jakarta (rumah dinas Kadivpropam), berdasarkan bukti-bukti yang dipegangnya.
Informasi bertolak belakang dari kubu Polri dan penasihat hukum demikian akan jadi pemicu kontroversi di tengah masyarakat
Atas kontroversi itu, jargon pembuktian ilmiah yang digunakan Polri justru bisa melahirkan keraguan publik, yakni bagaimana andai digunakan untuk alibi melindungi pelaku?