Orang mendaki gunung biasanya untuk menikmati keasrian alam, hutan yang alami, indah, dan apa adanya.Â
Kenyataannya, makin ke sini beberapa gunung mulai diwarnai dengan beragam bangunan, seperti rumah, pondok, pagar dan jalan beton, dan sebagainya.
Beberapa diantara bangunan itu merupakan simbol agama tertentu. Gunung menjadi seolah tempat ekslusif agama tertentu.
Tahun lalu para pegiat alam sempat was-was soal rencana investor membangun kereta gantung di gunung Rinjani. Sontak wacana itu mendapat penolakan.
Padahal, sejatinya, selain mestinya alami apa adanya, gunung bukan milik pribadi, bukan milik suku tertentu, dan bukan milik agama tertentu.
Gunung merupakan daerah konservasi yang diatur dan dikuasai negara untuk sebesar-besarnya kelestarian alam dan umat manusia lintas suku, agama, politik, dan antar golongan.
Kalaupun mau membangun sesuatu di puncak gunung, bangunlah dalam batas seminimal mungkin agar tidak merusak kealamian dan pemandangan alam. Dan lintas agama, tidak ekslusif agama tertentu.
Beribadah di alam bebas bisa di mana saja, tanpa harus dibuatkan rumah ibadah permanen atau semi permanen. Kalaupun dibangun juga, kenyataannya, sangat jarang dimanfaatkan sesuai fungsinya.
Kalaupun mau membangun maka buatlah fasilitas yang bisa dimanfaatkan semua orang, lintas suku, agama, dan antar golongan. Contohnya shelter. Itupun dalam batas seminimal mungkin.
Tak jarang pula di puncak gunung dibangun plakat nama politisi tertentu. seperti di Leuser ada dibangun plakat blok semen bertuliskan "Prof Dr Syamsuddin Mahmud, Gubernur Aceh, 1997 …"
Ada pula pemasangan bendera partai tertentu di beberapa gunung, seperti pernah ditemui di gunung Talang dan Latimojong.
Tidak bisakah gunung dibiarkan menjadi area netral dari semua kebrisikan pertarungan politik, agama, eksploitasi bisnis dan kesukuan?Â
Toh orang tetap bebas beribadah sesuai agamanya. Agar ekspresi-ekspresi agama, kesukuan, atau politik melebur dalam kebersamaan di alam bebas yang alami dan apa adanya.(*)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H