Mohon tunggu...
Sutomo Paguci
Sutomo Paguci Mohon Tunggu... Pengacara - Advokat

Advokat, berdomisili di Kota Padang, Sumatera Barat | Hobi mendaki gunung | Wajib izin untuk setiap copy atau penayangan ulang artikel saya di blog atau web portal | Video dokumentasi petualangan saya di sini https://www.youtube.com/@sutomopaguci

Selanjutnya

Tutup

Hukum Pilihan

Tolong Rem Nafsu Menghukum, Lapas Sudah Over Kapasitas

15 Agustus 2021   19:00 Diperbarui: 15 Agustus 2021   22:01 422
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) dan Rumah Tahanan Negara (Rutan) di seluruh Indonesia sudah mengalami over kapasitas gila-gilaan sejak bertahun-tahun lalu. 

Makin mengerikan saat kondisi pandemi seperti saat ini, over kapasitas Lapas dan Rutan dikhawatirkan mempermudah penularan Covid-19.

Data Ditjenpas, sebagaimana dilansir dari Okezone.com, Lapas/Rutan di Indonesia kelebihan kapasitas hingga 131,077 persen bulan Mei 2021 lalu.

Hampir semua Lapas/Rutan di Sumatera Barat, misalnya, kelebihan kapasitas. 

Dilansir dari ditjenpas.go.id, per Agustus 2021 dari 23 Lapas/Rutan di Sumatera Barat, 21 diantaranya over kapasitas. Terparah Lapas Kelas IIB Payakumbuh hanya punya kapasitas 59 tapi diisi 312 napi/tahanan (over kapasitas 429%).

Mayoritas penghuni Lapas/Rutan tersebut adalah napi/tahanan kasus narkoba. 

Lebih miris lagi, mayoritas penghuni Lapas/Rutan adalah pemakai narkoba yang nota bene adalah orang sakit yang harusnya diobati (direhabilitasi) tapi malah dijebloskan ke penjara.

Problemnya, kebanyakan pemakai narkoba itu tidak punya biaya untuk melakukan rehabilitasi mandiri sebagaimana halnya pemakai narkoba dari kalangan orang kaya, sedangkan negara tidak punya anggaran untuk itu.

Belum ditambah kasus ecek-ecek lainnya, seperti penghinaan, pencurian ringan, penganiayaan ringan, dll. Jadilah kamar-kamar Lapas/Rutan diisi berjejal seperti kaleng sarden.

Over kapasitas Lapas/Rutan demikian berada di hilir dari proses panjang penegakan hukum pidana. 

Hulu dari masalah ini berada di instansi Polri, Kejaksaan, BNN, dan pengadilan. Mereka inilah yang punya nafsu besar menghukum siapa saja yang dianggapnya bersalah dan terbukti melakukan perbuatan pidana, walaupun kasusnya ecek-ecek.

Di lapangan ada kesan kuat nafsu menghukum demikian. Pokoknya, tersangka/terdakwa harus dihukum bagaimanapun cara atau argumen hukumnya. 

Salah satu cara "menghukum sebelum waktunya" atau sebelum putusan hakim berkekuatan hukum tetap dengan menahan tersangka/terdakwa dalam proses hukum yang sedang berjalan.

Begitu gampang menahan tersangka walaupun kecil indikasi tersangka akan melarikan diri, menghilangkan barang bukti, atau mengulangi perbuatan. Selalu alasan subjektif menjadi dasar dominan untuk menahan.

Tersangka/terdakwa yang ditahan akan meningkatkan kans untuk dipidana bagaimanapun caranya. Sebab, akan menjadi kehebohan apabila tersangka/terdakwa yang sudah terlanjur ditahan berbulan-bulan, tiba-tiba dibebaskan.

Di pengadilan ada kesan kuat ketakutan hakim membebaskan terdakwa walau buktinya tidak kuat dan meyakinkan. Menghukum memang lebih rendah risikonya dibanding membebaskan.

Risiko membebaskan terdakwa antara lain rentan mendapat sorotan masyarakat, media massa, LSM dan sebagainya. Rentan menimbulkan kecurigaan publik. Sehingga sekalangan orang memplesetkan lembaga pengadilan menjadi "lembaga penghukuman".

Sebenarnya, ada solusi sederhana agar hakim dan pengadilan tidak berkontribusi membuat Lapas/Rutan over kapasitas oleh kasus-kasus kecil, dengan tetap mempertimbangkan asas manfaat bagi negara dan masyarakat.

Solusi itu adalah, hakim mengutamakan pidana percobaan, denda atau pidana tindakan terhadap terdakwa perkara kecil yang terbukti melakukan pidana dengan ancaman ringan atau pidana tanpa korban. Jadi, terpidana tak perlu masuk dalam Lapas.

Disamping itu, pengadilan/hakim, penyidik Polri, Kejaksaan, dan BNN tidak perlu menahan para tersangka perkara tanpa korban atau minim kerugian atau perkara narkoba dengan tersangka hanya sebagai pemakai.

Ironisnya, Lapas/Rutan di Indonesia tetap saja over kapasitas di masa pandemi seperti saat ini. Bisa dibayangkan andai terjadi klaster Covid-19 di dalam Rutan/Lapas, seperti pernah dialami Lapas Muaro Padang akhir 2020 lalu. 

Namanya Lapas sejatinya tempat pembinaan narapidana. Tetapi kenyataannya, sering kali Lapas dijadikan tempat penitipan tahanan dari berbagai pengadilan, Kejaksaan dan Polri di wilayahnya. Hal ini karena keterbatasan kapasitas Rutan.

Tidak mudah menahan, kecuali untuk tersangka/terdakwa dengan perkara serius dengan ancaman nyata apabila tidak ditahan, dapat menjadi solusi over kapasitas Lapas/Rutan di Indonesia.(*) 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun