Mohon tunggu...
Sutomo Paguci
Sutomo Paguci Mohon Tunggu... Pengacara - Advokat

Advokat, berdomisili di Kota Padang, Sumatera Barat | Hobi mendaki gunung | Wajib izin untuk setiap copy atau penayangan ulang artikel saya di blog atau web portal | Video dokumentasi petualangan saya di sini https://www.youtube.com/@sutomopaguci

Selanjutnya

Tutup

Hukum Pilihan

Tolong Rem Nafsu Menghukum, Lapas Sudah Over Kapasitas

15 Agustus 2021   19:00 Diperbarui: 15 Agustus 2021   22:01 422
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Hulu dari masalah ini berada di instansi Polri, Kejaksaan, BNN, dan pengadilan. Mereka inilah yang punya nafsu besar menghukum siapa saja yang dianggapnya bersalah dan terbukti melakukan perbuatan pidana, walaupun kasusnya ecek-ecek.

Di lapangan ada kesan kuat nafsu menghukum demikian. Pokoknya, tersangka/terdakwa harus dihukum bagaimanapun cara atau argumen hukumnya. 

Salah satu cara "menghukum sebelum waktunya" atau sebelum putusan hakim berkekuatan hukum tetap dengan menahan tersangka/terdakwa dalam proses hukum yang sedang berjalan.

Begitu gampang menahan tersangka walaupun kecil indikasi tersangka akan melarikan diri, menghilangkan barang bukti, atau mengulangi perbuatan. Selalu alasan subjektif menjadi dasar dominan untuk menahan.

Tersangka/terdakwa yang ditahan akan meningkatkan kans untuk dipidana bagaimanapun caranya. Sebab, akan menjadi kehebohan apabila tersangka/terdakwa yang sudah terlanjur ditahan berbulan-bulan, tiba-tiba dibebaskan.

Di pengadilan ada kesan kuat ketakutan hakim membebaskan terdakwa walau buktinya tidak kuat dan meyakinkan. Menghukum memang lebih rendah risikonya dibanding membebaskan.

Risiko membebaskan terdakwa antara lain rentan mendapat sorotan masyarakat, media massa, LSM dan sebagainya. Rentan menimbulkan kecurigaan publik. Sehingga sekalangan orang memplesetkan lembaga pengadilan menjadi "lembaga penghukuman".

Sebenarnya, ada solusi sederhana agar hakim dan pengadilan tidak berkontribusi membuat Lapas/Rutan over kapasitas oleh kasus-kasus kecil, dengan tetap mempertimbangkan asas manfaat bagi negara dan masyarakat.

Solusi itu adalah, hakim mengutamakan pidana percobaan, denda atau pidana tindakan terhadap terdakwa perkara kecil yang terbukti melakukan pidana dengan ancaman ringan atau pidana tanpa korban. Jadi, terpidana tak perlu masuk dalam Lapas.

Disamping itu, pengadilan/hakim, penyidik Polri, Kejaksaan, dan BNN tidak perlu menahan para tersangka perkara tanpa korban atau minim kerugian atau perkara narkoba dengan tersangka hanya sebagai pemakai.

Ironisnya, Lapas/Rutan di Indonesia tetap saja over kapasitas di masa pandemi seperti saat ini. Bisa dibayangkan andai terjadi klaster Covid-19 di dalam Rutan/Lapas, seperti pernah dialami Lapas Muaro Padang akhir 2020 lalu. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun