Saya mengusulkan, turun ambil jalur berbeda. Setidaknya jalur baru belum diketahui beratnya seperti jalur naik tadi. Ternyata teman-teman punya pemikiran yang sama.
Kami mengitari setengah telaga Dewi. Ke arah utara. Ternyata ada nampak sedikit tanda jalur untuk turun, menyamping ke kanan dari jalur ke arah puncak. Kami ikuti jalur itu.
Satu jam pertama jalur masih nampak cukup jelas. Kemudian jalur mulai membingungkan. Tidak jelas lagi. Maklum ini bukan jalur resmi.
Dengan mengandalkan perkiraan, kami terus turun di tengah rimba yang banyak pacetnya. Terus berjalan seolah tak ada ujungnya. Saya berjalan paling depan. Seorang teman sudah nampak kepayahan luar biasa.
Raut wajah kami waktu itu menyedihkan. Nyaris putus asa. Letih dan lapar. Badan sudah lemas dan gemetar. Hari sudah lewat pukul 13 tapi pintu ke luar dari rimba belum jelas.
Satu pun tidak ada yang paham navigasi. Berjalan hanya ikuti naluri. Setelah hampir enam jam berjalan tak menentu lewat atas punggungan akhirnya ada teman teriak "ada bungkus permen!".
Mendengar teriakan itu, dada rasa nyezzz sejuk. Seakan ada sinar terang tiba-tiba muncul dari kegelapan. Ada sampah artinya pernah ada manusia lewat.
Saya celingak-celinguk mencari sampah lain. Benar saja, sambil terus turun, kami memunguti sampah plastik lainnya yang ditinggalkan entah siapa, mungkin pendaki, mungkin warga lokal pencari kayu. Sampah-sampah itu jadi penuntun langkah kami.
Hingga sekitar pukul 16.30 WIB kami melihat sinar terang menerobos celah pepohonan rimba. Jalan kami percepat. Ternyata benar. Kami pun tiba di pinggir kebun tebu warga, kemudian pergi ke jalan yang mengarah ke ngarai Sianok. Hari sudah pukul 17.00, artinya, kami telah berjalan seharian tanpa makan dan minum.
Teman-teman seperti kesetanan. Buka baju dan celana. Tinggal cawat. Lalu joget dan bernyanyi penuh kemenangan. Tanpa komando kami makan tebu petani dengan rakus.(*)
SUTOMO PAGUCI