Mohon tunggu...
Sutomo Paguci
Sutomo Paguci Mohon Tunggu... Advokat

Advokat, berdomisili di Kota Padang, Sumatera Barat | Hobi mendaki gunung | Wajib izin untuk setiap copy atau penayangan ulang artikel saya di blog atau web portal | Video dokumentasi petualangan saya di sini https://www.youtube.com/@sutomopaguci

Selanjutnya

Tutup

Trip Artikel Utama

Tersesat di Gunung Singgalang

19 Juli 2020   16:54 Diperbarui: 9 November 2020   09:50 1550
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Duo gunung Singgalang-Tandikat dilihat dari gunung Marapi (dokpri)

Pengalaman ini dapat diambil pelajaran oleh pendaki lain: selalu ikuti jalur resmi, jangan terpancing buat jalur sendiri, kecuali jago navigasi, bawalah peralatan dan logistik memadai.

Oh iya, sangat mungkin para pendaki yang hilang di gunung Singgalang, dan belum diketemukan hingga saat ini, mengalami tersesat seperti saya dan kawan-kawan waktu itu. Bedanya, kami semua selamat.

Hari itu, Sabtu, 18 Juli 1998 saya dan empat orang rekan berangkat dari rumah kosan di Padang selepas Magrib. Naik bus NPM menuju titik awal pendakian gunung Singgalang di pasar Kotobaru, Tanah Datar, Sumatera Barat.

Sampai di Kotobaru sekitar pukul 22 WIB, kami singgah untuk salat di masjid dekat pasar Kotobaru. Setelahnya, kami mulai jalan kaki menuju pintu rimba, dekat tower TVRI.

Udara waktu itu sudah terasa dingin menusuk tulang. Kami berlima berjalan pelan menyusuri jalan aspal buruk berliku dan menanjak. Walau tak membawa beban berarti tapi tetap terasa letih.

Saya sendiri cuma bawa plastik kresek warna hitam berisi kue-kue kering dan sedikit roti buat pengganjal perut selama di perjalanan. Teman-teman lain hampir sama. Tidak ada yang bawa tenda.

Dari awal sudah sepakat pendakian tek-tok. Naik malam, sampai puncak pagi, dan langsung turun dihari yang sama.

Bergidik ngeri bila diingat saat ini. Betapa tidak aman cara kami mendaki waktu itu. Padahal medan trek gunung Singgalang terkenal sangat berat dan panjang. Tapi kami pe-de saja. Itu pengalaman pertama kami mendaki gunung Singgalang.

Ilustrasi memulai pendakian (dokpri)
Ilustrasi memulai pendakian (dokpri)
Sekitar pukul 23.00 WIB kami sampai di tower TVRI. Ada pondok kecil di sana. Di pondok itu kami istirahat sejenak. Gerimis tipis mulai turun.

"Nanti ikuti saja kabel listrik sampai ke puncak, tidak akan tersesat," ujar seorang pria paruh baya, warga lokal, yang kebetulan sedang duduk-duduk di pondok.

Setengah jam setelahnya kami kembali melanjutkan perjalanan. Treknya langsung menanjak tak terkira-kira. Nyaris tegak. Mana licin pula.

Susah payah kami berjalan dengan merangkak pelan. Tak bisa berdiri tegak, karena lewat semacam terowongan pohon pimpiang. Hampir satu jam berjalan merangkak begini. Otot kaki tegang dan terasa mau keram.

Jalur terowongan pimpiang (dokpri)
Jalur terowongan pimpiang (dokpri)
Setelah satu jam berjalan merangkak, barulah sampai di hutan rimba. Jalan licin karena hujan gerimis. Udara tengah malam makin dingin menusuk. Jaket yang kami pakai mulai lembab karena tak pakai mantel hujan.

Kami terus berjalan supaya tak makin kedinginan. Terus berjalan pelan. Makin lama makin terasa letih. Jalur terasa terus menanjak tak ada habisnya.

Setelah total tiga jam berjalan, keletihan makin menjadi. Sendi kaki mulai terasa ngilu. Hanya obrolan sepanjang jalan sebagai penghiburan. Saat lain kami berjalan dalam diam. Sepi.

Di jalan kami tak ketemu pendaki lain, sangat mungkin hanya grup kami yang mendaki gunung Singgalang hari ini.

Di tengah rimba yang lebat dan lembab, malam makin pekat. Kami terus berjalan. Dengan penerangan obor bambu pakai minyak tanah, kaki kami berderap menginjak jalan licin dengan akar melintang di sana sini.

Mendekati waktu Subuh kami sampai di area bernama cadas. Di sini ada area datar untuk tempat mendirikan beberapa tenda, tapi tak ada tenda pendaki waktu itu. Sejenak kami istirahat di sini.

Tak berapa lama kami mulai menggigil kedinginan. Gejala hipotermia. "Kita lanjut?" Seorang kawan mengusulkan lanjut berjalan karena puncak telaga Dewi tak jauh lagi, sekitar setengah jam perjalanan.

"Sebelum berjala kita isi perut dulu ya," kataku sambil mengeluarkan bungkusan. Ternyata tinggal tersisa roti gabin kering yang kemudian kubagi rata. Itulah stok makanan terakhir.

Setengah jam setelah melanjutkan perjalanan dari cadas, sampailah kami di telaga Dewi. Sekitar pukul 07.00 Wib. Tak ada pendaki lain di sekitar Telaga Dewi kecuali grup kami.

Panorama telaga Dewi (dokpri)
Panorama telaga Dewi (dokpri)
Tak sampai sejam kami menikmati suasana telaga Dewi. Badan sudah terlalu letih. Lapar juga. Yang terpikir saat itu, alangkah malas untuk turun di jalur yang sama dengan naik tadi. Terbayang berat dan capeknya.

Saya mengusulkan, turun ambil jalur berbeda. Setidaknya jalur baru belum diketahui beratnya seperti jalur naik tadi. Ternyata teman-teman punya pemikiran yang sama.

Kami mengitari setengah telaga Dewi. Ke arah utara. Ternyata ada nampak sedikit tanda jalur untuk turun, menyamping ke kanan dari jalur ke arah puncak. Kami ikuti jalur itu.

Satu jam pertama jalur masih nampak cukup jelas. Kemudian jalur mulai membingungkan. Tidak jelas lagi. Maklum ini bukan jalur resmi.

Dengan mengandalkan perkiraan, kami terus turun di tengah rimba yang banyak pacetnya. Terus berjalan seolah tak ada ujungnya. Saya berjalan paling depan. Seorang teman sudah nampak kepayahan luar biasa.

Raut wajah kami waktu itu menyedihkan. Nyaris putus asa. Letih dan lapar. Badan sudah lemas dan gemetar. Hari sudah lewat pukul 13 tapi pintu ke luar dari rimba belum jelas.

Satu pun tidak ada yang paham navigasi. Berjalan hanya ikuti naluri. Setelah hampir enam jam berjalan tak menentu lewat atas punggungan akhirnya ada teman teriak "ada bungkus permen!".

Mendengar teriakan itu, dada rasa nyezzz sejuk. Seakan ada sinar terang tiba-tiba muncul dari kegelapan. Ada sampah artinya pernah ada manusia lewat.

Saya celingak-celinguk mencari sampah lain. Benar saja, sambil terus turun, kami memunguti sampah plastik lainnya yang ditinggalkan entah siapa, mungkin pendaki, mungkin warga lokal pencari kayu. Sampah-sampah itu jadi penuntun langkah kami.

Hingga sekitar pukul 16.30 WIB kami melihat sinar terang menerobos celah pepohonan rimba. Jalan kami percepat. Ternyata benar. Kami pun tiba di pinggir kebun tebu warga, kemudian pergi ke jalan yang mengarah ke ngarai Sianok. Hari sudah pukul 17.00, artinya, kami telah berjalan seharian tanpa makan dan minum.

Teman-teman seperti kesetanan. Buka baju dan celana. Tinggal cawat. Lalu joget dan bernyanyi penuh kemenangan. Tanpa komando kami makan tebu petani dengan rakus.(*)

SUTOMO PAGUCI

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Trip Selengkapnya
Lihat Trip Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun