Bagi orang yang senang dan hobi mendaki gunung, sangat mungkin tidak selalu perlu alasan spesifik tiap kali mau mendaki gunung. Mendaki seolah sudah menjadi bagian hidup, gaya hidup, rekreasi, rutinitas dan seterusnya.Â
Bagi saya pribadi, selalu ada alasan tiap kali mendaki suatu gunung, sekali pun sudah berulang-ulang mendaki gunung yang sama. Alasan itu kadang serius, di lain waktu konyol belaka. Konyol tapi positif, berikut ini contohnya.
1. Makan kacang goreng
Untuk menunaikan hajat tersebut, saya harus berkendara lima jam pergi-pulang, berjalan kaki total 11 jam, merayap di salah satu tanjakan gunung terberat di Sumatera Barat, disertai kemungkinan tergelincir atau terjerembab ke kubangan lumpur!
Sabtu (20/1/2018), pagi-pagi sekali, saya sudah berangkat dari rumah menuju posko Gunung Singgalang di dekat Tower RCTI, di Nagari Pandai Sikek, Kecamatan Sepuluh Koto, Kabupaten Tanah Datar, Provinsi Sumatera Barat. Pukul 7.30 saya sampai di posko, mendaftar, memarkir kendaraan, pemanasan sebentar, dan pukul 8.00 pendakian pun dimulai.
Hadeh. Padahal, sudah berkhayal mau makan kacang goreng di tepi telaga pada saat menjelang senja. Semua buyar. Kerangka tenda berdecit-decit ditiup badai, seolah mau terbang ke langit. Jadilah sore itu acara makan kacang di dalam tenda saja.
Ada dua daerah pengrajin kacang goreng terkenal di Sumatera Barat, yaitu Batusangkar di Tanah Datar dan Pantai Cermin di Solok. Kedua kacang dari dua daerah tersebut sengaja dibawa untuk diadu siapa yang paling renyah dan gurih.
Suatu hari bertahun-tahun yang lalu saya terkecap air alami di dekat puncak Gunung Kerinci, tepatnya di dasar lembah sebelah kanan Shelter 3. Demikian lezat rasa air itu sehingga saya menyebutnya sebagai "air terlezat di dunia!" Sejak itulah, dalam waktu-waktu tertentu, saya rutin mendaki Gunung Kerinci hanya untuk mencicipi itu air.
Rasa-rasanya saya sudah pernah menikmati semua air mineral kemasan branded yang beredar di Indonesia. Semua lewat! Masih jauh lebih lezat air yang saya buru ini.
Saya juga telah menikmati air alami di rimba-rimba tersembunyi, di ceruk-ceruk telaga, di lembah-lembah angker yang sunyi, di tempat-tempat yang tak pernah disangka orang. Namun semua air tersebut belum mampu mengalahkan candu air di puncak gunung Kerinci ini.
Umumnya pendaki yang saya amati tidak terlalu memperhatikan semarak bunga berwarna mirip buah naga ini, tapi tidak dengan saya.
Memang sedikit orang yang suka memperhatikan detail. Para pendaki biasanya akan larut dalam suka cita kebersamaan. Detail bunga edelweiss yang berangsur berkurang, burung gagak hitam yang berkejaran, dsb jarang diperhatikan orang.
Padahal, bunga cantigi itu bermekaran sangat mencolok. Sesampai di puncak satu Gunung Talang, para pendaki langsung dihadapkan pada daun-daun cantigi muda berwarna merah menyala dan bunga cantigi yang berwarna senada.
Tas carrier saya biasanya bertambah berat dengan berjejal-jejal bacaan, berkas pekerjaan, buku, buku ajar ilmu hukum, politik, novel dan lain-lain.
Bayangkan, hanya untuk tempat membaca saja saya perlu berkendara berjam-jam, dua hari berjalan naik turun gunung, meringkuk di tenda dalam suhu yang ekstrem dingin dan kadang dihajar badai yang mematikan.
Kadang-kadang butuh suasana berbeda agar bacaan lebih meresap ke dalam jiwa. Membaca di perpustakaan, kamar atau cafe sudah terlalu mainstream. Saatnya mencoba tempat membaca yang baru dan lebih greget.
Demi mendapatkan foto-foto sampah di gunung Kerinci tersebut, saya sekali lagi harus berkendara 10 jam, jalan kaki tiga hari, bermalam di tengah rimba banyak harimaunya, semua demi memfoto sampah.Â
Gunung Kerinci sudah bertahun-tahun dalam status darurat sampah. Sampah ada di mana-mana. Setelah dibersihkan, sampah itu kembali lagi seperti semula, seolah tak ada habis-habisnya. Selama masih ada pendaki, selama itu pula masih ada sampah.
Sampah menggunung di tiap titik tertentu, mulai pintu rimba, Pos 1, Pos 2, Pos 3, Shelter 1, Shelter 2, Shelter 3 dan bahkan hingga di puncak tertingginya. Bukan itu saja, sepanjang perjalanan berceceran sampah seolah menjadi "rambu" penunjuk jalan. Siapa yang peduli?
(SUTOMO PAGUCI)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H