Mohon tunggu...
Sutomo Paguci
Sutomo Paguci Mohon Tunggu... Pengacara - Advokat

Advokat, berdomisili di Kota Padang, Sumatera Barat | Hobi mendaki gunung | Wajib izin untuk setiap copy atau penayangan ulang artikel saya di blog atau web portal | Video dokumentasi petualangan saya di sini https://www.youtube.com/@sutomopaguci

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Artikel Utama

5 Alasan Konyol Mendaki Gunung

22 Januari 2018   09:12 Diperbarui: 5 Februari 2018   13:12 1808
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Membaca di gunung (Dok. Pribadi)

Bagi orang yang senang dan hobi mendaki gunung, sangat mungkin tidak selalu perlu alasan spesifik tiap kali mau mendaki gunung. Mendaki seolah sudah menjadi bagian hidup, gaya hidup, rekreasi, rutinitas dan seterusnya. 

Bagi saya pribadi, selalu ada alasan tiap kali mendaki suatu gunung, sekali pun sudah berulang-ulang mendaki gunung yang sama. Alasan itu kadang serius, di lain waktu konyol belaka. Konyol tapi positif, berikut ini contohnya.

1. Makan kacang goreng

Kacang dan telaga (Dok. Pribadi)
Kacang dan telaga (Dok. Pribadi)
Mungkin ini alasan absurd bagi kebanyakan orang. Saya tiba-tiba ingin makan kacang goreng di tepi Telaga Dewi, Gunung Singgalang. Rasanya menyenangkan makan kacang goreng di tepi telaga, di depan tenda, duduk di kursi lipat, sambil mendengar musik dan secangkir minuman panas. Cuma alasan itu saja.

Untuk menunaikan hajat tersebut, saya harus berkendara lima jam pergi-pulang, berjalan kaki total 11 jam, merayap di salah satu tanjakan gunung terberat di Sumatera Barat, disertai kemungkinan tergelincir atau terjerembab ke kubangan lumpur!

Sabtu (20/1/2018), pagi-pagi sekali, saya sudah berangkat dari rumah menuju posko Gunung Singgalang di dekat Tower RCTI, di Nagari Pandai Sikek, Kecamatan Sepuluh Koto, Kabupaten Tanah Datar, Provinsi Sumatera Barat. Pukul 7.30 saya sampai di posko, mendaftar, memarkir kendaraan, pemanasan sebentar, dan pukul 8.00 pendakian pun dimulai.

Kacang dan tenda (Dok. Pribadi)
Kacang dan tenda (Dok. Pribadi)
Hari itu cuaca berawan. Embusan angin terasa lebih dingin dari biasanya. Perjalanan menyusuri trek Singgalang, yang terkenal ekstrem, menjadi lebih menyenangkan tanpa guyuran hujan. Pukul 16.00 saya pun tiba di tepi Telaga Dewi, langsung mendirikan tenda, dan setelah tenda berdiri hujan badai pun tiba-tiba datang!

Hadeh. Padahal, sudah berkhayal mau makan kacang goreng di tepi telaga pada saat menjelang senja. Semua buyar. Kerangka tenda berdecit-decit ditiup badai, seolah mau terbang ke langit. Jadilah sore itu acara makan kacang di dalam tenda saja.

Ada dua daerah pengrajin kacang goreng terkenal di Sumatera Barat, yaitu Batusangkar di Tanah Datar dan Pantai Cermin di Solok. Kedua kacang dari dua daerah tersebut sengaja dibawa untuk diadu siapa yang paling renyah dan gurih.

Nuansa kabut badai di Telaga Dewi (Dok. Pribadi)
Nuansa kabut badai di Telaga Dewi (Dok. Pribadi)
2. Minum air di Shelter 3 Kerinci

Suatu hari bertahun-tahun yang lalu saya terkecap air alami di dekat puncak Gunung Kerinci, tepatnya di dasar lembah sebelah kanan Shelter 3. Demikian lezat rasa air itu sehingga saya menyebutnya sebagai "air terlezat di dunia!" Sejak itulah, dalam waktu-waktu tertentu, saya rutin mendaki Gunung Kerinci hanya untuk mencicipi itu air.

Sumber air di shelter 3 Kerinci (Dok. Pribadi)
Sumber air di shelter 3 Kerinci (Dok. Pribadi)
Bayangkan, bela-belain saya berkendara 10 jam, jalan kaki tiga hari, bermalam di tengah rimba banyak harimaunya, semua demi menikmati air terlezat di dunia ini. 

Rasa-rasanya saya sudah pernah menikmati semua air mineral kemasan branded yang beredar di Indonesia. Semua lewat! Masih jauh lebih lezat air yang saya buru ini.

Saya juga telah menikmati air alami di rimba-rimba tersembunyi, di ceruk-ceruk telaga, di lembah-lembah angker yang sunyi, di tempat-tempat yang tak pernah disangka orang. Namun semua air tersebut belum mampu mengalahkan candu air di puncak gunung Kerinci ini.

Selengkapnya.

3. Melihat bunga cantigi

Bunga cantigi di Gunung Talang (Dok. Pribadi)
Bunga cantigi di Gunung Talang (Dok. Pribadi)
Pada sekitar bulan Maret s/d April tiap tahunnya saya biasanya tidak melewatkan berziarah ke Gunung Talang, di Solok, Sumatera Barat, khusus untuk melihat bunga cantigi (Vaccinium varingifolium) di sekitar puncak hutan mati. Pada saat inilah momen paling tepat untuk melihat semarak musim bunga cantigi bermekaran di Gunung Talang.

Umumnya pendaki yang saya amati tidak terlalu memperhatikan semarak bunga berwarna mirip buah naga ini, tapi tidak dengan saya.

Memang sedikit orang yang suka memperhatikan detail. Para pendaki biasanya akan larut dalam suka cita kebersamaan. Detail bunga edelweiss yang berangsur berkurang, burung gagak hitam yang berkejaran, dsb jarang diperhatikan orang.

Padahal, bunga cantigi itu bermekaran sangat mencolok. Sesampai di puncak satu Gunung Talang, para pendaki langsung dihadapkan pada daun-daun cantigi muda berwarna merah menyala dan bunga cantigi yang berwarna senada.

Selengkapnya.

4. Membaca buku

Membaca di gunung (Dok. Pribadi)
Membaca di gunung (Dok. Pribadi)
Tempat membaca buku bagi orang kebanyakan cukuplah di rumah, di perpustakaan, cafe dan tempat-tempat nongkrong lainnya. Sedangkan saya sangat menikmati membaca buku di tempat-tempat ekstrem semisal di puncak gunung.

Tas carrier saya biasanya bertambah berat dengan berjejal-jejal bacaan, berkas pekerjaan, buku, buku ajar ilmu hukum, politik, novel dan lain-lain.

Bayangkan, hanya untuk tempat membaca saja saya perlu berkendara berjam-jam, dua hari berjalan naik turun gunung, meringkuk di tenda dalam suhu yang ekstrem dingin dan kadang dihajar badai yang mematikan.

Kadang-kadang butuh suasana berbeda agar bacaan lebih meresap ke dalam jiwa. Membaca di perpustakaan, kamar atau cafe sudah terlalu mainstream. Saatnya mencoba tempat membaca yang baru dan lebih greget.

Selengkapnya.

5. Memfoto sampah

Sampah di shelter 3 Kerinci (Dok. Pribadi)
Sampah di shelter 3 Kerinci (Dok. Pribadi)
Lain waktu tujuan saya mendaki Gunung Kerinci, gunung tertinggi di Pulau Sumatera sekaligus gunung berapi tertinggi di Asia Tenggara, hanya untuk memfoto sampah sepanjang jalan hingga ke puncaknya. Hanya itu saja.

Demi mendapatkan foto-foto sampah di gunung Kerinci tersebut, saya sekali lagi harus berkendara 10 jam, jalan kaki tiga hari, bermalam di tengah rimba banyak harimaunya, semua demi memfoto sampah. 

Gunung Kerinci sudah bertahun-tahun dalam status darurat sampah. Sampah ada di mana-mana. Setelah dibersihkan, sampah itu kembali lagi seperti semula, seolah tak ada habis-habisnya. Selama masih ada pendaki, selama itu pula masih ada sampah.

Sampah menggunung di tiap titik tertentu, mulai pintu rimba, Pos 1, Pos 2, Pos 3, Shelter 1, Shelter 2, Shelter 3 dan bahkan hingga di puncak tertingginya. Bukan itu saja, sepanjang perjalanan berceceran sampah seolah menjadi "rambu" penunjuk jalan. Siapa yang peduli?

Selengkapnya.

(SUTOMO PAGUCI)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun