Yang tak kalah vulgar, Jenderal Gatot secara terbuka menyebut atasannya, panglima tertingginya, Presiden Republik Indonesia, Joko Widodo, sebagai "sedang bingung" terkait perda yang dibatalkan Kemendagri tapi dianulir MK. Tendensi ucapan Panglima TNI ini mudah dipersepsi publik sebagai "pembunuhan karakter" Presiden.
Kemaren, hari Minggu (8/10/2017), saat saya pulang dari Kerinci menuju Padang, di Sangir, saya melihat baliho Panglima TNI terpampang mencolok di pinggir jalan. Wow!
Pada saat yang sama kita membaca berita Panglima TNI baru menghadiri acara yang digelar PP Muhammadiyah. Sebagaimana NU "punya" partai bernama PKB, Muhammadiyah juga "punya" partai bernama PAN. You know lah, bagaimana pembacaannya.Â
Di waktu biasa mungkin kehadiran Panglima TNI dalam pengajian PP Muhammadiyah atau acara PKS demikian terlihat biasa saja, tidak dengan menjelang tahun politik begini, apalagi jika dikaitkan dengan rangkaian manuver lainnya.
Susul-menyusul dengan manuver Jenderal Gatot yang terkesan kuat "cari panggung politik" umbar pembelian senjata di tubuh Polri seolah-olah bermasalah. Dengan manuver ini, mata media tertuju padanya.
Seharusnya, tiap anggota TNI disiplin menjaga diri tidak terlibat kegiatan politik praktis yang dijalankan oleh aktor-aktor politik termasuk partai, sesuai perintah undang-undang. Berpikir untuk bersaing dengan panglima tertingginya saja adalah tidak etis.
Rangkaian manuver Jenderal Gatot tersebut bila dicermati, menurut saya, telah jelas merusak tata disiplin prajurit TNI. Ada pengamat yang dengan tegas menyebut Jenderal Gatot telah melanggar sumpah prajurit.
Jika dibaca UU No 34/2004 tentang TNI, khususnya Pasal 62, Jenderal Gatot sebenarnya bisa saja diberhentikan karena "mempunyai tabiat dan/atau perbuatan yang nyata-
nyata dapat merugikan disiplin keprajuritan atau TNI".Â
Namun karena pertimbangan politik barangkali lebih baik membiarkan Jenderal Gatot hingga pensiun sekitar enam bulan lagi.
Sebagai Panglima TNI, Jenderal Gatot telah mengecewakan rakyat seperti saya, yang berharap tinggi pada TNI teguh pegang komitmen tidak terlibat politik praktis, loyal pada konstitusi, dan tunduk patuh pada politik negara yang dijalankan pemerintah dibawah presiden.
Bahkan seorang Mayor Agus Harimurti Yudhoyono lebih kesatria memilih mundur dari dinas TNI sebelum terlibat dalam politik praktis.