[caption id="attachment_181404" align="aligncenter" width="475" caption="Foto ANTARA/Arief Priyono, Sumber: tempo.co"][/caption] Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) terdapat dua kelompok pasal yang bersinggungan dengan agama. Pertama, kelompok pasal tindak pidana 'yang ditujukan langsung terhadap agama' dan, kedua, kelompok pasal tindak pidana 'yang bersangkutan/berhubungan dengan agama'. Kelompok pertama Pasal 156
Barang siapa di muka umum menyatakan perasaan permusuhan, kebencian atau penghinaan terhadap suatu atau beberapa golongan rakyat Indonesia, diancam dengan ancaman pidana penjara paling lama empat tahun atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.
Penjelasan: Perkataan golongan dalam pasal ini dan pasal berikutnya berarti tiap-tiap bagian dari rakyat Indonesia yang berbeda dengan suatu atau beberapa bagian lainnya karena ras, negeri asal, agama, tempat asal, keturunan, kebangsaan, atau kedudukan menurut hukum tata negara.
Pasal 156a
Dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya lima tahun barang siapa dengan sengaja di muka umum mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan:
a. Yang pada pokoknya bersifat permusuhan, penyalahgunaan atau penodaan terhadap suatu agama yagn dianut di Indonesia;
b. Dengan maksud agar supaya orang tidak menganut agama apapun juga, yang bersendikan Ketuhanan Yang Maha Esa. Pasal 157
(1) Barang siapa menyiarkan, mempertunjukkan, atau menempelkan tulisan atau lukisan di muka umum, yang isinya mengandung pernyataan perasaan permusuhan, kebencian atau penghinaan di antara atau terhadap golongan-golongan rakyat Indonesia, dengan maksud supaya isinya dikethaui atau lebih diketahui oleh umum, diancam dengan pidana penjara paling lama dua tahun enam bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.
(2) Jika yang bersalah melakukan kejahatan tersebut pada waktu menjalankan pencariannya dan pada saat itu belum lewat lima tahun sejak pemindanaannya menjadi tetap karena kejahatan semacam itu juga yang bersangkutan dapat dilarang menjalankan pencarian tersebut.
Kelompok pasal tersebut di atas ditujukan untuk perbuatan-perbuatan menyangkut (i) sistem keyakinan/kepercayaan, (ii) sistem ritus/ibadah, dan (iii) kesatuan sosial pemeluk/umat. Termasuk ke dalam sistem keyakinan meliputi Rukun Iman dan Rukun Islam dalam agama Islam; Credo 12 dalam agama Kristen; Widhi Cradha dalam agama Hindu yang sistem keyakinannya sebagai Sadsaddha. Sedangkan cakupan sistem ritus ibadah meliputi tapi tak terbatas seperti solat, puasa, haji, dll dalam agama Islam; pada agama Kristen seperti kebaktian, misa, dll. Sementara sistem kesatuan sosial pemeluk/umat adalah umat beragama sebagai kesatuan sosial keumatan dalam Islam, Kristen, Hindu, Budha dll. Kelompok kedua Selain pasal 'tindak pidana yang ditujukan terhadap agama', ada juga pasal tindak pidana 'yang bersangkutan/berhubungan dengan agama'. Kategori cakupan norma hukum dalam kelompok kedua ini sangat luas, yang dapat dikelompokan ke dalam delik-delik kesusilaan, dan delik-delik pada umumnya yang dikaitkan dengan agama. Pasal-pasal pidana kategori kelompok kedua ini adalah: Pasal 175 s/d 181, dan Pasal 503 ke 2 KUHP. Pasal 175
Barang siapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan merintangi pertemuan keagamaan yang bersifat umum dan diijinkan, atau upacara pertemuan keagamaan yang diijinkan, atau upacara penguburan jenazah, diancam dengan pidana penjara paling lama satu tahun empat bulan.
Pasal 176
Barang siapa dengan sengaja mengganggu pertemuan keagamaan yagn bersifat umum dan diijinkan, atau upacara keagamaan yang diijinkan atau upacara penguburan jenazah dengan menimbulkan kekacauan atau suara gaduh, diancam dengan pidana penjara paling lama satu bulan dua minggu atau pidana denda paling banyak seribu delapan ratus rupiah.
Pasal 177
Diancam dengan pidana penjara paling lama empat bulan dua minggu atau pidana denda paling banyak seribu delapan ratus rupiah:
1. Barang siapa menertawakan seorang petugas agama dalam menjalankan tugas yang diijinkan;
2. Barang siapa menghina benda-benda utnuk keperluan ibadat di tempat atau pada waktu ibadat dilakukan.
Pasal 178
Barang siapa dengan sengaja merintangi atau menghalang-halangi jalan masuk atau pengangkutan mayat ke kuburan yang diijinkan, diancam dengan penjara paling lama satu bulan dua minggu atau pidana denda paling banyak seribu delapan ratus rupiah.
Pasal 179
Barang siapa dengan sengaja menodai kuburan atau dengan sengaja dan melawan hukum menghancurkan atau merusak tanda peringatan di tempat kuburan, diancam dengan pidana penjara paling lama satu tahun empat bulan.
Pasal 180
Barang siapa dengan sengaja dan melawan hukum menggali atau mengambil jenazah atau memindahkan atau mengangkut jenazah yang sudah digali atau diambil, diancam dengan pidana penjara paling lama satu tahun empat bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.
Pasal 181
Barang siapa mengubur, menyembunyikan, membawa lari atau menghilangkan mayat dengan maksud menyembunyikan kematian atau kelahiran, diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.
Pasal 503 ke 2
Diancam dengan pidana kurungan paling lama tiga hari atau pidana denda paling banyak dua ratus dua puluh lima rupiah:
2. Barang siapa membikin gaduh di dekat bangunan untuk menjalankan ibadat yang dibolehkan atau untuk sidang pengadilan, pada waktu ada ibadat atau sidang. Catatan 1. Perlu diperhatikan, kelompok pasal di atas tidak mencakup perbuatan yang ditujukan melakukan penodaan terhadap Tuhan atau dikenal sebagai "blasphemy" atau "Godslatering" atau "Gotteslasterung", penghinaan nabi, rasul, kitab suci, pemuka agama, lembaga agama, dan penyiaran atau penyebaran agama. Jika ada orang yang menghina Tuhan suatu pemeluk agama, perbuatan tersebut tidak bisa dijerat dengan pasal-pasal tersebut pada kelompok pertama di atas. Kriminalisasi perbuatan blasphemy dst belakangan dimasukan dalam RUU KUHP. Dalam Draf RUU KUHP versi tahun 2004, blasphemy dimuat dalam Pasal 337. Sedangkan penghinaa rasul, nabi, kitab suci, ajaran agama, dan ibadah keagamaan...dicantumkan dalam Pasal 338. 2. Pasca empat kali perubahan UUD 1945 tahun 1999-2002, ketentuan-ketentuan pasal delik agama di atas menjadi riskan diterapkan. Sebab, pasal-pasal penyebar kebencian (haatzaai artikelen) tersebut tergolong sebagai "pasal karet" yang multitafsir, yang sejarahnya digunakan pemerintah kolonial Belanda untuk membungkam kaum pergerakan. Dalam kaitan ini, penegak hukum memiliki diskresi atau kewenangan untuk tidak menerapkan atau menyimpangi pasal-pasal tersebut, seperti halnya tidak menerapkan pidana terhadap pengemis yang nota bene ada pasal pidananya dalam KUHP. Namun kata akhir diterapkan atau tidak ada pada penegak hukum. 3. Ke depan, salah satu agenda pembaharuan hukum pidana adalah memperbaiki muatan norma dari delik-delik agama agar sesuai dengan nafas negara hukum demokratis berdasarkan Pancasila dan UUD 1945.[] Referensi: R. Soenarto Soerodibroto, KUHP dan KUHAP, ed. 5 cet. 12, penerbit RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2006; Supanto, Delik Agama, penerbit LPP UNS dan UNS Press, cet. 1, Surakarta, 2007.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H