Laporan ini secara jelas dituliskan dalam majalah Hindia Poetra No. 9 tahun 1917. Kemudian kata Indonesia ini menjadi populer di kalangan mahasiswa di Belanda sebagai kata pengganti Indie (Hindia) dan Indiers (orang Hindia) yang sangat merendahkan kedudukan kaum Bumiputra. Oleh karena itu, pada tahun 1922, organisasi itu pun berubah menjadi Indonesische Vereeniging. Dengan demikian penggunaan kata Indonesia secara politis mulai dipakai sejak tahun 1922, untuk menggantikan nama 'Hindia Belanda'.
Sejak berubah menjadi Indonesische Vereeniging tahun 1922, organisasi Indonesische Vereeniging semakin berhaluan politik dan dipimpin oleh Mohammad Hatta (Drs. Mohammad Hatta/Bung Hatta) dan kawan2. Sejak inilah untuk pertama kali kata Indonesische dimaknai secara politis yang lebih radikal dan terang-terangan memperjuangkan kemerdekaan Indonesia dari penjajah Belanda.
Nama baru organisasi mahasiswa Indonesia di Belanda, Indonesische Vereeniging, menghendaki media publiasi yang baru pula. Maka lahirlah majalah "Indonesia Merdeka". Melalui majalah ini, Mohammad Hatta dan kawan-kawan mengekspresikan pandangan dan cita-cita politik mereka yang bermuara pada perjuangan untuk memerdekakan tanah air mereka.
Kata Merdeka diambil sebagai bentuk usaha untuk mengungkapkan kepada dunia bahwa setiap bangsa di dunia termasuk bangsa Indonesia memiliki keinginan untuk merdeka. Untuk meyakinkan dunia atas keberadaan Indonesia Mohammad Hatta menghadiri Kongres Gerakan Perdamaian dunia internasional di Prancis pada tahun 1926, lewat kongres ini lah Hatta memberitahukan kepada dunia internasional bahwa keberadaan Indonesia tidak hanya sebatas geografis melaikna juga secara politis.
Sebagaimana sudah sama kita ketahui selanjutnya, Buletin Indonesia Merdeka diawasi oleh otoritas kolonial Belanda karena peredarannya sampai ke tanah air. Di Belanda sendiri penerbitan majalah ini cukup sulit lantaran banyak donatur Belanda yg sebelumnya mendukung Indische Vereeniging secara finansial menarik diri menyusul berubahnya organisasi mahasiswa Indonesia ini menjadi lebih radikal dan mengubah namanya menjadi Indonesische Vereeniging. Bundelan Buletin Indonesia Merdeka inilah yang pertama-tama disita oleh douane/polisi Hindia Belanda dari bagasi Mohammad Hatta ketika dia dan barang-barangnya tiba di Pelabuhan Tanjung Priok sesampainya dia di tanah air pada 1932 setelah sekitar 10 tahun bermukim di Belanda.
Selanjutnya buletin "Indonesia" adalah menjadi suksesor dari buletin Indonesia Merdeka. Edisi pertama Buletin Indonesia terbit pada bulan Maret 1938. Penghilangan kata 'Merdeka' pada nama buletin ini mengindikasikan perubahan politik organisasi Perhimpunan Indonesia. Di tangan generasi selepas Mohammad Hatta (seperti Parlindoengan Loebis, Moh. Ildrem, Sidartawan, dll.) organisasi ini menjadi lebih moderat (lihat: Poeze 2008: 276-280). Buletin ini bertahan sampai tahun 1940an.
Sejak terpilihnya Iwa Kusuma Sumantri sebagai ketua, sifat perjuangan politik organisasi semakin kuat. Pemberontakan Perhimpunan Indonesia yang paling fenomenal pada 1925 yang dikenal dengan Manifesto Politik. Manifesto Politik ini dimuat dalam Buletin yang diterbitkan  Perhimpunan Indonesia di Nederland pada 1925, tepatnya di Universitas Leiden, tempat para Tokoh Nasional kita belajar.
Melalui Manifesto Politik, para tokoh nasional merumuskan dasar-dasar nasionalisme Indonesia. Mereka membuat analisis politik kolonial secara mendalam. Manifesto Politik memuat tiga butir. Pertama, sewajarnya Indonesia diperintah oleh orang-orang yang dipilih dari rakyat dan dari kalangan sendiri. Ini implisit sekali sebagai penegakan kedaulatan rakyat. Ya, tentu saja ini merupakan upaya menuju kemerdekaan dan demokrasi.
Kedua, dalam memperjuangkan itu, bangsa Indonesia tidak memerlukan bantuan dari pihak mana pun. Ini masalah otonomi. Swadaya suatu bangsa. Ketiga, berbagai unsur perlu bersatu dalam perjuangan untuk mencapai cita-cita bersama. Persatuan dan kesatuan itu conditio sine qua non, persyaratan mutlak menuju kemerdekaan dan nasionalisme.
Jadi dapatlah disimpulkan bahwa selama pendiriannya saat itu, Indische Vereeniging sebagai cikal bakal berhimpunnya para tokoh nasional di Belanda mengalami 2 kali pergantian nama organisasi. Indonesische Vereeniging pada tahun 1922 dan Perhimpunan Indonesia pada tahun 1925.
Di bawah pimpinan Iwa Kusuma Sumantri, tepatnya pada 3 Februari 1925, organisasi Indonesische Vereeniging berubah namanya menjadi Perhimpunan Indonesia dalam Bahasa Melayu. Tujuannya agar mempertegas prinsip perjuangan organisasi ini. Menguatnya perlawanan Perhimpunan Indonesia ini tidak terlepas dari peran pengurus lainnya, seperti ; J. Sinatala, Mohammad Hatta, Sastromoeljono, dan Mangoenkoesoemo.