Pada jam istirahat, Arini mencoba mengirim pesan WA kepada sahabat mayanya, Pak Eko, seorang guru senior di seberang pulau. Ia curhat tentang hal yang ia alami hingga tanpa sadar mengepalkan tangan dan mengagetkan murid-muridnya.
Pak Eko yang suka bergaya konyol hanya terkekeh dengan menuliskan "hua ha ha ha ha ...."
Selain tulisan simbol ketawa konyol, Pak Eko juga membubuhkan emoji tertawa. Akan tetapi pada kolom chat berikutnya, Pak Eko serius menulis.
"Kenapa tidak kamu integrasikan saja? Keinginan kepala sekolahmu sebagai koordinator P5 terpenuhi, pun diskusi kamu dengan anak-anak sebagaimana pemahan yang Anda peroleh di pelatihan tersalurkan. Proyek fisik hanya media saja. Luaran dan hal yang dinilai adalah dimensi profil, 'kan? Beriman dan bertakwa kepada Tuhan dan berakhlak mulia, berkebinnekaan global, gotong royong, dan seterusnya. Kamu pasti sudah pula belajar membuat perencanaan, iya 'kan?"
Membaca pesan WA Pak Eko, Arini menarik napas panjang.Â
-Pak, Integrasi? Kok mudah amat Bapak bilang integrasi? Mengintegrasikan dua hal yang berbeda bukankan sangat sulit?
Pesan balasan ia sampaikan kepada guru yang ia kenal pada sebuah kelas pelatihan menulis.
Sambil menunggu komentar guru tua itu, Arini menyeruput teh buatan penjaga sekolah.
"Huh, kemanisan. Pak Saman lupa, ya, kalau aku tidak suka minum teh manis?" gumam Arini seolah menyalahkan Saman, penjaga sekolahnya.
"Bu Arini, kok minum dengan gelas Pak Joko? Tuh, ada stiker nama di gelas Bu Arini. Ciye ... ada apa, nih?" goda Mayang, guru kelas enam yang sangat enerjik.
"Astaghfirullah, kok bisa tertukar? Aku salah ambil, ya? Pak Joko, maaf, tehnya telanjur saya minum. Tapi rasanya terlalu manis, ini?"