Hari Minggu pagi, suasana di desaku sangat cerah, membuatku hidup lebih bersemangat. Pengumuman dari PLN bahwa akan ada pemadaman listrik pukul 09.00 hingga 12.00 WIB aku manfaatkan dengan mengetik dan memindahkan berkas.
Pukul 09.15 pemadaman yang diberitahukan PLN terjadi. Laptop aku padamkan. Aku pergi mandi dan bersiap berangkat ke rumah kawan yang jaraknya 33 kilometer dari rumah. Lumayan jauh. Makanya, pukul 10.30 menjadi batas kompromi keberangkatan.
Si Bungsu dan emaknya sudah siap. Si Bungsu aku ajak agar ia menggantikanku menyetir mobil ketika pulang. Setidaknya, agar ia hapal jalan yang akan dilalui. Maklum, belum ada sebulan memegang setir kendaraan roda empat itu.Â
Pukul setengah sebelas siang kami berangkat. Dua pertiga perjalanan kami  tempuh melewati jalan provinsi yang menghubungkan Tugumulyo dan Jalan Lintas Sumatera.Â
Lebih kurang tiga perempat jam, kami sampai ke lokasi. Rumah teman kami berdampingan dengan gedung sekolah tempat ia mengajar. Sebuah tarub besar berdiri gagah di sisi kanan rumahnya. Di luar pagar berdiri semacam tenda untuk mengolah makanan. Banyak tumpukan kayu bakar terlihat di sana. Tungku-tungku pun terasa hidup dengan obaran api dari kayu karet yang menjadi bahan bakarnya. Lalu, juru tanak dengan sigap menuangkan nasi ke dalam termos nasi ukuran besar.Â
Tuan rumah menyabut kami dengan ramah. Pak Yani, guru olahraga yang aku kenal ketika bersama-sama di Kecamatan Selangit, Musi Rawas menuambut dan menyalami. Kami duduk di antara para saudara dan koleganya.Â
Sebenarnya, hari "H" masih dua hari lagi. Hari Senin disebut "Hari Bermasak" adalah waktunya para ibu melanjutkan memasak untuk membuat hidangan yang akan disantap pada hari hajatan. Hari Selasa adalah hari resepsi ngunduh mantu yang digelar Pak Yani.Â
Namun, karena ada beberapa pekerjaan yang harus dikerjakan dan selesai pada hari Senin dan Selasa, membuatku datang pada hari Minggu.
"Maaf, Lur. Hari Senin dan Selasa ada beberapa pekerjaan yang harus aku selesaikan. Takutnya, ke sini tidak kebagian waktu lagi," kataku kepada Pak Yani beralasan.
Setelah mengobrol sejenak, kami disuguhi minuman dan makanan ringan. Tidak lama kemudian, makan siang pun dihidangkan. Di antara berbagai sajian, ada satu hidangan yang menarik perhatian: gulai umbut sawit.Â
Sayur santan umbut sawit menurutku cukup lezat. Umbut sawit yang dipotong dadu ternyata tidak sekeras umbut kelapa biasa. Tekstur lembutnya memanjakan gigiku yang mulai keropos.Â
Nasi disiram kuah gulai umbut sawit rasanya nikmat. Masakan yang kaya akan bumbu itu cukup memanjakan lidah. Nyaris tidak mengambil lauk protein hewani berupa daging ayam. Yang banyak, ya, gulai umbut sawit yang bersanding dengan tumis jengkol diiris tipis-tipis.
Menurut cerita tuan rumah, tiga batang sawit yang tumbuh di pinggir jalan depan sekolah ditebang demi hajatan ini. Dua umbut pohon kelapa sawit sudah dimasak. Satu batang lagi masih disisakan untuk hari besok. Ekor mataku melihat adaa batang umbut kelapa sawit tergelaetak di samping ibu-ibu yang sedang sibuk memasak.
Melihat dan menyantap hidangan ini, pikiranku melayang ke masa lalu, saat aku masih tinggal di dusun pedalaman di tepian Sungai Rawas.
Di dusun kecil itu, setiap hajatan besar selalu diwarnai dengan tradisi menebang pohon kelapa untuk diambil umbutnya. Umbut kelapa---bagian dalam batangnya yang lembut---seakan menjadi bahan wajib untuk masakan di hari istimewa. Namun, sejak kebun sawit masuk sekitar tahun 2000, umbut sawit perlahan menggantikan umbut kelapa. Tradisi tetap berjalan, hanya bahan bakunya yang berubah.
Yang belum pernah mencicipi, mungkin tidak akan suka. Namun, rasa penasaran akan rasanya sudah kulakukan tiga puluh tahun lalu. Jadi, meskipun tidak pernah memasak sayur umbut, krtika ada sajian itu, aku tidak sungkan untuk memakannya.
Ternyata, di balik kelezatannya, umbut sawit menyimpan segudang manfaat: kaya akan serat, menjadi sumber energi alami, penuh vitamin dan mineral, serta mengandung antioksidan yang membantu melindungi tubuh dari radikal bebas.***
Musi Rawas, 14 Desember 2024
PakDSus
Blogger Guru tinggal di Musi Rawas
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H