Sayur santan umbut sawit menurutku cukup lezat. Umbut sawit yang dipotong dadu ternyata tidak sekeras umbut kelapa biasa. Tekstur lembutnya memanjakan gigiku yang mulai keropos.Â
Nasi disiram kuah gulai umbut sawit rasanya nikmat. Masakan yang kaya akan bumbu itu cukup memanjakan lidah. Nyaris tidak mengambil lauk protein hewani berupa daging ayam. Yang banyak, ya, gulai umbut sawit yang bersanding dengan tumis jengkol diiris tipis-tipis.
Menurut cerita tuan rumah, tiga batang sawit yang tumbuh di pinggir jalan depan sekolah ditebang demi hajatan ini. Dua umbut pohon kelapa sawit sudah dimasak. Satu batang lagi masih disisakan untuk hari besok. Ekor mataku melihat adaa batang umbut kelapa sawit tergelaetak di samping ibu-ibu yang sedang sibuk memasak.
Melihat dan menyantap hidangan ini, pikiranku melayang ke masa lalu, saat aku masih tinggal di dusun pedalaman di tepian Sungai Rawas.
Di dusun kecil itu, setiap hajatan besar selalu diwarnai dengan tradisi menebang pohon kelapa untuk diambil umbutnya. Umbut kelapa---bagian dalam batangnya yang lembut---seakan menjadi bahan wajib untuk masakan di hari istimewa. Namun, sejak kebun sawit masuk sekitar tahun 2000, umbut sawit perlahan menggantikan umbut kelapa. Tradisi tetap berjalan, hanya bahan bakunya yang berubah.
Yang belum pernah mencicipi, mungkin tidak akan suka. Namun, rasa penasaran akan rasanya sudah kulakukan tiga puluh tahun lalu. Jadi, meskipun tidak pernah memasak sayur umbut, krtika ada sajian itu, aku tidak sungkan untuk memakannya.
Ternyata, di balik kelezatannya, umbut sawit menyimpan segudang manfaat: kaya akan serat, menjadi sumber energi alami, penuh vitamin dan mineral, serta mengandung antioksidan yang membantu melindungi tubuh dari radikal bebas.***
Musi Rawas, 14 Desember 2024
PakDSus
Blogger Guru tinggal di Musi Rawas
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H