Hari ini, saya selesai melaksanakan ibadah puasa untuk hari yang kesembilan. Puji syukur, sejauh ini masih bisa menahan diri dari lapar,dahaga dan hal-hal yang membatalkan puasa, meskipun mungkin tidak sempurna.
Ya, para alim sudah mengajarkan bahwa puasa menurut syariat Islam adalah menahan diri dari makan, minum, dan hal-hal yang membatalkan puasa. Waktunya dari terbit fajar (subuh) hingga terbenamnya matahari (Maghrib) dengan niat karena Allah. Pelaksanaan ibadah puasa itu sendiri memiliki syarat-syarat tertentu.
Secara syariat, puasa adalah menahan diri dari dari menahan haus dan lapar dan hal lain yang membatalkan. Namun seyogyanya dibarengi dengan menahan diri dari hal-hal yang diinginkan tetapi tidak mendesak.
Bayangkan, ketika seharian menahan lapar dan haus, tentu pada saat berbuka ingin mencicipi berbagai makanan atau biasa disebut takjil.
Takjil yang dijajakan menjelang berbuka puasa sangat menggoda untuk dinikmati. Godaan untuk membeli berbagai jajanan itu muncul akibat melihat kemasan maupun bentuknya sangat menarik.
Aneka kolak, es buah, es kelapa muda, berbagai jenis gorengan, kue-kue basah sangat menggoda untuk dicicipi sebagai pembatal puasa pada waktu Maghrib.
Bahkan, ramai di sosial media, semarak Ramadan diramaikan dengan "takjil war". Istilah takjil war dimunculkan warga net akibat umat muslim maupun nonmuslim (nonis, bahasa medsosnya) sama-sama berburu takjil.
Warga nonis tergiur untuk segera menikmati, sementara warga muslim membeli untuk membatalkan puasa. Karena tidak segera dimakan, kadang warga muslim membeli menjelang maghrib, alhasil mereka hanya mendapat 'sisa'.
Terlepas dari guyon 'takjil war' sebagai fenomena penyemarak bulan Ramadan, tanpa menahan diri siapa pun tergiur untuk membeli berbagai penganan yang disajikan.
Harga jajanan, rata-rata lima ribuan untuk makanan yang dikemas dalam gelas plastik atau bungkusan plastik gula sekiloan. Lauk makan dalam bentuk gulai/sayur masak bervariasi antara delapan hingga lima belas ribu. Gorengan masih ada yang bertahan pada angka seribu setiap satuan, ada pula yang lima ribu mendapat tiga buah.
Jika "kewajiban" membeli takjil dilakukan setiap sore, tentu pengeluaran akan cukup besar. Sementara, tidak semua makanan yang dibeli dapat dimakan habis. Istilahnya, ketika berburu takjil kalap, yang diinginkan maunya langsung dibeli. Akan tetapi ujung-ujungnya mubazir karena tidak termakan. Sebab, makan pada waktu buka ternyata tidak perlu banyak .
Selain pemandangan 'pasar bedug', pasar kaget Ramadan, atau pasar takjil, godaan berikutnya adalah pemandangan di pusat-pusat kuliner.
Motor dan mobil berjajar di parkiran, menandakan bahwa sang pengendara sedang berada di dalam restoran untuk ... buka bersama.
Melihat pemandangan itu pun tebersit keinginan untuk melakukan hal yang sama, berbuka bersama.
Terbayang 'kan, buka bersama bersama kawan-kawan, jika tidak bayar sendiri-sendiri, ya bayar patungan. Keseringan bukber tentu akan memengaruhi isi kantong.
Budaya Menyambut Lebaran dan Menyikapi agar Finansial Tetap Sehat Selama Ramadan
Budaya bangsa ketika berhari raya menyediakan aneka kue, minuman, dan sajian yang 'istimewa' mau tidak mau bakal menyedot pengeluaran. Belum lagi anak-anak (termasuk ayah ibunya, mungkin) menginginkan baju baru. Meskipun ada lagu yang syairnya mengatakan takada pun tak apa-apa, masih ada baju yang lama. Tetap saja baju baru menjadi suatu 'keharusan'.
Oleh karena itu, tidak heran jika seminggu menjelang lebaran, pasar akan dipenuhi warga yang menyiapkan diri menyambut lebaran. Belanja bahan mentah untuk diolah atau membeli kue yang sudah jadi. Belanja baju baru dan pernik-pernik lainnya pun dilakukan. Semuanya membutuhkan uang yang tidak sedikit.
Selain itu, jangan lupa bahwa setiap muslim wajib mengeluarkan zakat fitrah. Zakat fitrah berupa makanan pokok, dalam hal ini beras, harus dipersiapkan.
Di Musi Rawas, Sumsel ditetapkan zakat fitrah per orang sebesar 2,5 kilogram beras atau setara dengan 35.000 rupiah. Berapa jiwa dalam rumah tangga yang harus dibayarkan tinggal mengalikan. Jangan sampai kesibukan menyiapkan hal yang tidak wajib melupakan hal yang wajib, yakni menunaikan zakat fitrah.
Nah, ternyata finansial pada bulan Ramadan agak berbeda dengan pengelolaan finansial di luar Ramadan.Â
Lalu, bagaimana agar finansial kita sehat di bulan Ramadan?
Bagi para orang kaya dan super kaya yang kata tetangga 'duitnya tidak berseri' tulisan ini tidak ada artinya. Akan tetapi untuk para keluarga dengan upah minim dan tunjangan hari raya tidak terlalu besar, finansial sehat saat Ramadan perlu dipertimbangkan.
Ada beberapa hal yang bisa dilakukan dan ini nasihat untuk diri penulis sendiri:
Satu, jika belum bisa kreatif dan produktif menghasilkan tambahan uang, menahan dirilah dari berbagai keinginan. Uang dikeluarkan untuk sesuatu yang dibutuhkan, bukan untuk sesuatu yang diinginkan. Jadi, memprioritaskan pada kebutuhan pokok adalah sikap yang bijaksana. Makanan, minuman, kebutuhan rumah tangga harian lebih didahulukan.
Dua, memasak sendiri. Ketimbang membeli, memasak sendiri tentu lebih hemat. Untuk ini harus berani menahan diri makan makanan yang siap saji atau siap santap.
Tiga, mengikuti program buka bersama gratis. Tidak perlu malu. Buka bersama gratis, misalnya di masjid-masjid memang sengaja diadakan agar para pengunjung berkenan menikmati. Supaya donatur yang bersedekah memperoleh manfaat keberkahan dari Allah Swt.
Bijak mengeluarkan uang dan menahan diri dari mengeluarkan uang untuk sesuatu yang diinginkan akan membuat finansial kita sehat selama Ramadan.
Musi Rawas, 19 Maret 2024
PakDSus
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H