Cuaca petang sangat cerah. Meskipun lembayung senja di langit barat menyemburat, waktu maghrib masih lama tiba. Anak-anak masih bergembira ria bermain. Ada yang berlari-lari, ada pula yang naik sepeda. Para ibu muda sibuk mendorong kereta bayi atau sepeda roda tiga yang didorong dari belakang. Mereka lalu lalang melewati jalan setapak depan rumah.
Kami yang hanya bertiga di rumah memiliki kesibukan sendiri-sendiri. Ibu negara terlihat menyeterika baju sebelum ia menutup pintu kandang ayam. Si Bungsu sibuk di depan laptopnya.Â
Pada hari Sabtu ia libur. Jika tidak mengerjakan tugas, layar laptopnya terlihat permainan yang aku tidak tahu apa namanya. Sementara, pada gawai tipisnya terlihat layar aplikasi Spotify dan mendengarkan musik kesukaannya: jazz, blues, atau rock.Â
Lain halnya jika Bungsu mengerjakan tugas. Ia mengetik dan berselancar, membuka podcast secara bersamaan. Sedangkan gawai tipisnya memutar musik. Sungguh, gaya belajar yang sering mendapat komentar miring dari sang Bunda.
Aku sendiri, seperti biasa. Melihat kesibukan depan rumah sambil membaca artikel. Lalu membaca dan membalas pesan-pesan pada puluhan WA grup maupun pesan pribadi beberapa orang.
Tidak hanya tulisan, tetapi juga gambar-gambar. Beberapa poster hasil karya anak-anak kelas enam tidak luput masuk memenuhi memori hapeku.
"Bagaimana belajar Canva tadi, menyenangkan?" tanyaku pada beberapa siswa yang berhasil mengirimkan karya perdananya.
Hari ini, pada pukul dua aku meminta anak-anak yang memiliki hape untuk datang ke sekolah.
Janjiku untuk mengajari mereka membuat desain dengan aplikasi Canva harus kutunaikan. Secara normatif, mungkin aku salah. Akan tetapi, tanpa belajar itu pun, orang tua memberinya fasilitas telepon pintar itu. Lagipula sisa pandemi dua tahun lalu 'mewajibkan' orang tua membuka akses bagi anaknya untuk belajar. Ah, ... segera kutepis pertentangan batin itu lebih jauh.
***
"Saya tunggu, Anak-anak!" tulisku di grup kelas.
"Siap, Pak. Kami sudah di kantin sekolah," jawab Citra.
Waktu menunjukkan pukul 13.30. Perutku mulai terasa lapar. Kekuatan raw vegetable salad served with spicy sause alias lotek yang kumakan sebelum pukul 12 itu tidak mampu mengelabui cacing perut dari rasa laparnya.
"Izin makan dulu, ya. Mba Evi Kantin belum ngantar pesanan," balasku di kolom chat WA.
Aku memesan tempe goreng hangat dan segelas teh manis dingin kepada Mbak Evi melalui pesan WA. Mbak Evi adalah gadis pedagang jajanan di kantin sekolahku.Â
"Teh esnya jangan manis-manis, Mbak Evi, ntar ngalahin yang jual. Saya tunggu di ruang guru, ya!" pesanku berseloroh. kami biasa bercanda ketika jam istirahat tiba.
Menjelang pukul dua siang, tempe goreng hangat yang empuk datang. Ia ditemani segelas besar teh bercampur es lengkap dengan sedotan.
Sesudahnya kami terlibat dalam kesibukan berlatih membuat desain untuk pertama kalinya. Sebagian anak gagal karena tidak bisa masuk, sinyal internet lemah bahkan tidak ada sama sekali. Namun sebagian lainnya terus berusaha dengan sinyal yang fluktuatif.Â
Membayangkan kegiatan siang menjelang sore tadi sangat menyenangkan. Anak-anak berebut minta ditolong karena belum bisa memasukkan elemen maupun foto. Bahkan ada yang belum bisa mengakses aplikasi web itu.
Aku melanjutkan membaca pesan WA di dalam rumah. Tiba-tiba ibu negara tergopoh-gopoh masuk rumah.Â
"Ayah ...!" teriak ibu negara.
Hape segera kuletakkan, sambil mendongak ke arahnya.
"Ada apa?" tanyaku penasaran.
"Ada orang di depan, aku tidak paham orangnya," jawab ibu negara sambil menunjuk ke arah ruang depan.
Di teras sudah duduk seorang laki-laki muda. Wajahnya seperti pernah kukenal tetapi lupa di mana.
Setelah bersalaman, sang tamu berkata," Main saja, Pak. Silaturahmi. Hmm ... sambil mau menanyakan celengan infak LazizMuh."
O, aku pun baru teringat. Dia, Mas Andi, yang beberapa bulan lalu menitipkan kaleng kecil berupa celengan dengan ornamen LazizMuh.
"O, iya, Mas. Hampir lupa dan jadi jarang mengisinya," kataku sambil tersipu.
"Tidak apa-apa, Pak. Sesempatnya dan seikhlasnya saja, kok," katanya.
Tadinya kupikir kaleng kecil itu akan dibawanya pulang. Oleh karena itu, aku berbisik kepada ibu negara untuk menambahkan isinya.Â
"Ini, Yah," kata ibu negara sambil menyerahkan kaleng kecil itu. Aku hanya mengangguk dan kaleng itu kusodorkan kepada tamuku.
Kaleng kecil itu dibalik. ternyata alas kaleng ada tutup kecil yang bisa dicongkel. Mas Andi mencongkel tutup itu dengan anak kunci sepeda motornya. Terdengar suara "plup" ketika tutup kaleng itu berhasil dibuka.Â
Beberapa koin berhamburan keluar. Uang kertas pecahan sepuluh ribu, lima ribu, dan dua ribuan menyusul keluar. Uang yang tersangkut di dalam diambil dengan dua jari oleh Mas Andi. Kaleng pun kembali kosong. Tutup kaleng dipasang kembali dan kaleng diserahkan kembali kepadaku. Tidak ada pesan, namun lubang celengan seolah berbisik., "Masukkan duit melalui mulutku!"
"Pak, saya hitung dulu dan kuitansi tanda terima akan kami buat," kata Mas Andi.
"Hmm ... nggak usah, deh. Bawa saja!" kataku. Aku tahu jumlahnya tidak akan sepadan dengan lamanya kaleng di rumah.
"Tidak, Pak. Demi akuntabilitas, Bapak mohon berkenan menandatangani kuitansi tanda terima ini."
Duh, malu benar, isi kaleng tidak sepadan dengan umurnya duduk di atas kulkas rumahku. Mau menambahi, keadaan keuangan mengalahkan ..., begitulah.***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H