Mohon tunggu...
Susanto
Susanto Mohon Tunggu... Guru - Seorang pendidik, ayah empat orang anak.

Tergerak, bergerak, menggerakkan. Belajar terus dan terus belajar menulis.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cermin (Cerita Mini): Menanak Nasi

13 Juli 2023   00:51 Diperbarui: 13 Juli 2023   00:53 276
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Menanak nasi dengan penanak nasi elektrik (Sumber: Foto Kamera Susanto)

Pagi hari adalah hari sibuk bagi Guru Eko dan sang istri. Mereka sama-sama bekerja sebagai guru PNS di dua sekolah dasar berbeda.

Hari itu, mereka bangun kesiangan. Azan Subuh tidak mampu membangunkan pasangan paruh baya dari lelapnya tidur malam.

Si ibu kurang enak badan, itu sudah ia keluhkan dari petang. Sementara, pasangannya tidur kelewat malam. Pukul lima mereka baru beranjak dari peraduan. Mereka terbangun ketika jerit kucing tetangganya memecah buta pagi hari.

"Mas, beli nasi uduk saja, ya?" tawar istri Guru Eko.

"Iya, nggak papa," jawab Guru Eko.

"Tapi, Mas yang beli. Badanku terasa kurang sehat. Aku mau njerang air untuk mandi."

Rumi, perempuan beda setengah tahun dengan suaminya itu melenggang ke dapur. Ia menyalakan kompor dan menjerang sepanci sedang air. Air hangat itu yang akan dicampurnya dengan seember air dari bak mandi untuk membersihkan badan, mengusir dingin, dan mengendurkan otot tubuhnya yang terasa kaku.

Bergegas Guru Eko mengambil sepeda ontel tuanya. Ia pergi ke rumah Bi Mirah, penjual nasi uduk, penyedia sarapan pagi murah meriah.

Di warung Bi Mirah, nasi uduk dihargai lima ribu rupiah. Jika ditambah telur bulat, pembeli cukup menggantinya dengan uang delapan ribu rupiah.

"Pak Guru, tumben belanja sendiri, ibunya ke mana?" tanya bi Mirah sambil memasukkan nasi uduknya ke dalam kertas pembungkus makanan yang dilapisi daun pisang berwarna hijau.

"Lagi kurang enak badan, Bi," jawab Guru Eko singkat.

"Pak Eko, kalau kurang mbok ditambahi!" celetuk Reni, janda berambut pirang yang setiap pagi selalu berada di warung bi Mirah.

"Kurang gimana, Mbak Reni?" tanya Guru Eko keheranan.

"Lah, katanya kurang enak badan, ya ditambahi biar enak gitu. Hmmm, Pak Guru pura-pura nggak paham aja," ucap Reni sambil tersenyum genit. Tangan janda berkulit putih itu pun menyibakkan gerai rambut hitam yang sudah dicatnya dengan warna pirang. 

"Mari, semuanya, sudah siang!" pamit Guru Eko kepada sang penjual setelah barang yang ia inginkan sudah di tangan.

Sambil mengayuh sepeda ontel tuanya, Guru Eko senyum-senyum mengingat kejadian di tempat gosip kampung, warung Bi Mirah.

Setelah kedua suami istri sarapan, anak bungsunya pun berpamitan berangkat ke sekolah mendahului kedua orang tuanya.

"Hati-hati, Mas!" pesan sang ibu.

Kedua orang guru itu pun segera bersiap. Namun, ada sesuatu yang dilakukan Guru Eko. Ia mengambil empat takar beras dan mencucinya. Jika istrinya kurang enak badan, ia selalu membantu sebagian pekerjaan rumah tangga.

"Aku nanak nasi, ya. Biar pulang nanti beli lauk saja. Beras ditinggal di mejik kan matang sendiri," gumam Guru Eko kepada istrinya.

"Terserah, Mas saja! Aku berangkat, ya!" pamit sang istri.

"Ya, hati-hati! Aku juga sesudan pasang panci ini, berangkat," jawab guru paruh baya itu.

"Dak!" Terdengar suara tutup panci elektrik beradu dengan badan panci.

Alat penanak nasi elektrik ditutup, Guru Eko bergegas menuju motor. Setelah mengunci pintu, ia pun memacu motor yang sudah hampir tiga kali ganti STNK itu meninggalkan halaman rumahnya.

Suasana di sekolah amat menyenangkan. Anak-anak baru di kelasnya sangat bersemangat. Hari itu, Guru Eko belum memberikan pelajaran. Ia ingin menjajagi minat dan mencari tahu data anak. 

"Hitung-hitung asesmen diagnostik nonkognitiflah," gumamnya dalam hati.

Guru Eko meminta muridnya di kelas enam menulis nama dan identitas lainnya, termasuk kegemaran, cara belajar yang paling nyaman, dan harapan kepada gurunya.

Kegiatan itu berlansgung cukup lama dan sang guru memberinya waktu senyaman mungkin. bahkan boleh dilanjutkan setelah istirahat pertama.

Menjelang bel pulang, ponselnya berdenting. Ia mendapat pesan WA.

Mas, belilah nasi dan lauk yang disukai. Kamu nanak nasi tidak dikasih air, kering. Aku pulang lebih awal, badanku tidak karuan.

"Bu, istriku sakit. AKu pulang duluan, ya!" 

Guru Eko bergegas pulang. Terbayang nasi pulen yang gagal akibat lupa memberi air. 

Musi Rawas, 12 Juli 2023
PakDSus 

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun