Jelajah dusun. Apa itu? Apakah kegiatan itu seperti kegiatan para Penggalang melakukan perjalanan dari satu titik ke titik lainnya? Ini cerita tentang jelajah dusun yang sering dilakukan di sekolah kami. Sajian cerita di dalamnya hanyalah fiksi, namun kegiatan yang diceritakan adalah kegiatan yang nyata.
Besok Libur Tidak?
"Pak, besok libur tidak?" tanya anak-anak kelas enam kepada saya.Â
"Mengapa kalian bertanya begitu?" saya balik bertanya.
"Besok tanggal merah," jawab anak-anak hampir serempak.
"O, ya?" jawab saya pendek. Jawaban pendek dengan balik bertanya itu tidak memuaskan mereka.
"Saya belum mendapat pemberitahuan bahwa besok libur, tuh!" kata saya menambahkan.
"Sekarang waktunya istirahat, silakan kalian beristirahat. Boleh ke kantin atau memakan bekal yang kalian bawa dari rumah!"
Saya pun berjalan menuju ke ruang guru. Anak-anak berhamburan keluar kelas. Sebagian besar siswa beranjak ke kantin sekolah. Sisanya masih bertahan di dalam kelas membuka dan menikmati bekal yang dibawanya dari rumah.Â
Di kantor guru teman-teman saya ternyata membincangkan perihal tanggal yang dicetak warna merah pada kalender. Juga membahas kotak merah pada angka enam di bulan Mei 2023 pada kalender pendidikan. Kotak merah itu, menurut keterangan adalah hari libur keagamaan.
"Di Kalender Pendidikan libur, tuh," kata Pak Medi sambil menunjuk kotak merah pada kalender yang dimaksud. Demikian pula pada kalender umum yang tertempel di dinding sebelah timur ruang guru, angka enam tercetak dengan warna merah. Pada bagian bawah tertera tulisan merah, Hari Raya Waisak.
"Tapi, Pak," kata Bu Lisa, "kalender di rumahku tidak merah, lo!"
Ketika para guru asyik membahas tanggal enam yang berwarna merah pada kalender, hape Bu Maria berdenting.
"Ada WA dari Pak Rahmat, Pak! Isinya surat edaran dari Dinas bahwa tanggal 6 Mei bukan libur, melainkan masih tetap melaksanakan pembelajaran!" serunya. Pak Rahmat adalah kepala sekolah kami yang pada hari itu berhalangan datang karena ada saudaranya yang sedang hajatan.
Para guru pun melihat hape masing-masing. Surat edaran itu dibagikan di grup. Jadi, setiap orang bisa membuka dan membacanya. Berbekal surat yang dibagikan kepala sekolah, para guru mengumumkannya di kelas.Â
"Anak-anak, jangan lupa besok memakai baju seragam olahraga. Senam pagi!" kata saya setelah membacakan surat edaran dari Dinas.
Koor kekecewaan anak-anak pun menggema.Â
Pada akhir pelajaran, saya memberi perintah.
"O, ya. Besok setiap anak membawa bekal nasi dari rumah, ya! Pada waktu istirahat kita makan bersama."Â
Jelajah Dusun yang Tidak Terencana
Keesokan harinya, pada Sabtu pagi anak-anak berbaris di halaman sekolah. Pak Medi, guru Penjas memimpin mereka. Ia memberi penjelasan dan aba-aba. Musik senam pun dibunyikan. Beberapa siswa diminta memberi contoh di hadapan teman-temannya. Musik senam pagi yang rancak membuat anak-anak dan para guru bersemangat bergerak. Setelah selesai, anak-anak beristirahat sebentar.
Baru saja saya duduk, Bu Lisa, guru kelas lima bertanya.
"Apa iya, Pak. Hari ini mau jalan-jalan keliling dusun? Anak-anak membawa bekal. Katanya disuruh Pak Eko?"Â
Saya kaget. Seingat saya, hanya di kelas enam saya meminta anak-anak membawa bekal. Itu pun akan dimakan setelah membahas materi pelajaran matematika yang saya tugaskan.
"Kelas empat juga!" seru Bu Maria.
Haa, saya semakin heran.
"Jadi, bagaimana?" tanya saya selanjutnya.
"Mungkin karena Pak Eko juga pembina Pramuka, jadi dikira kelas lain ikut diminta membawa bekal juga," tukas Bu Maria.
Saya pun menggaruk-garuk kepala yang tidak gatal.Â
Tiba-tiba, Fajar, anak kelas dua mengetuk pintu kantor.
"Pak, katanya kelas enam mau jalan-jalan. Aku yo nggowo bontot," katanya.
Kami saling berpandangan. Kemarin heboh perihal tanggal merah, sekarang heboh membawa bontot untuk persiapan jalan-jalan. Padahal mereka tidak diperintah.
Jalan-jalan jelajah dusun adalah agenda rutin kami. Satu tahun cukup satu kali. Kami berjalan berkeliling dusun, menyusuri kebun karet dan persawahan. Lalu, di tempat yang teduh dan lapang kami berhenti, bermain game lalu makan bersama.
"Ya, sudah. Bapak Ibu, siap tidak jika kita jelajah dusun. Toh tahun ini belum kita laksanakan?" tanya saya.
"Siap, kita semua memakai baju olahraga," jawab Bu Lisa.
"Kelas satu bagaimana?" tiba-tiba Bunda Dar menyeletuk.
"Apakah kelas satu juga bawa bekal?" tanya saya.
"Kalau kelas satu sih setiap hari bawa bekal," jawabnya.
Kami pun berunding menyiapkan rute yang tidak membuat kelas satu kelelahan, tetapi masih dirasa seru oleh murid-murid kelas tinggi. Kami pun bersepakat. Akhirnya, anak-anak dibariskan, lalu berdoa bersama.Â
"Kelas enam, silakan berjalan lebih dahulu. Ketua dan wakil ketua kelas dimohon mengatur anggotanya agar berjalan di sebelah kiri!"
Kami pun berjalan keluar halaman sekolah. Sampai di jalan, kami berbelok ke kiri. Anak-anak berjalan dua dua, tidak bergandengan. Semua anak terlihat ceria. Bahkan, anak-anak kelas tiga yang saya dampingi bernyanyi-nyanyi.
Naik kereta api tut ... tut ... tut ...Â
Siapa hendak turut ...
ke Bandung, Surabaya, ....
Anak-anak gembira. Kegiatan jelajah dusun yang tidak direncanakan itu akhirnya kami jalani dengan hati gembira.
Kami menyusuri jalan desa yang sudah diaspal. Lalu, pada pertigaan kami berbelok ke kanan. Jalan itu menuju persawahan. Jalan itu dikeraskan dengan semen, sedangkan jalan yang membelah sawah sudah ditanggul dan dikeraskan dengan koral. Oleh karena itu, kami tidak khawatir sepatu bakal basah terkena lumpur.Â
Di tengah persawahan, membentang siring atau saluran air. Air siring lancar mengalir. Bunyinya gemericik ketika aliran air mengenai rumput atau ranting kering. Di samping kiri kanan rabat beton, tampak bapak-bapak berkumpul. Mereka memegang ayam, mencabuti bulu dan membersihkannya. Mereka adalah para bapak yang sedang membantu hajat tetangga. Hari ini adalah hari betet-betet, istilah yang dipakai untuk kegiatan membersihkan ayam atau hewan ternak yang akan dijadikan lauk pada acara hajatan keesokan hari.Â
Saya menyalakan kamera dan merekam.
"Saya sudah direkam belum?" teriak seorang Bapak sambil tertawa.
"Sudah, Pak. Ini sudah saya rekam. Selamat bekerja, semuanya!" jawab saya dengan nada gembira. Sebagian besar dari mereka adalah wali murid sekolah kami. Setelah bercengkerama sejenak, saya pun melanjutkan perjalanan. Barisan sudah tidak teratur. Sebagian anak mendahului temannya.Â
Kami berjalan menyusuri jalan dan sebentar lagi akan berbelok melalui pematang. Sementara, hari beranjak tinggi. Sengatan sinar matahari mulai terasa.Â
"Pak, panas. Kalau panas, saya suka mimisan," kata Alma dengan nada manja. Anak kelas tiga ini sejak tadi berjalan di samping kiri atau kanan saya. Ia adalah anak bungsu dari dua bersaudara. Kakaknya sudah tamat dan sekarang sudah duduk di kelas satu SMP. Tutur bahasa Alma sopan, namun sedikit manja. Mungkin bawaan dari rumah karena ia adalah anak bungsu yang hingga kini belum memiliki adik.
"Tenang, Alma," kata saya, "Kamu tidak akan mimisan. Berjalan di samping Pak Guru, bayangan badan Pak akan melindungi kepalamu."
"Iya, Pak. Semoga tidak mimisan ya, Pak," jawabnya manja.
Ketika kami sedang asyik menyusuri pematang sawah, tiba-tiba terdengar suara.
"Lihat! Aku menangkap ular sawah!" teriak seorang anak laki-laki sambil memegang sesuatu seperti tali berwarna hitam. Semua mata tertuju kepadanya. O, si Adit. Anak kelas enam itu suka mencari perhatian.
"Adiiit ...! Bikin kaget saja!" teriak Maya, murid kelas lima. Ia memang mudah sekali terkejut.
Adit tertawa puas. Aksinya sudah membuat sebagian anak perempuan terkejut. Ia pun makin bertingkah.
"Pak Eko, rekam, Pak!" teriak Adit meminta saya merekam tingkahnya. Saya hanya tersenyum. Sementara si Adit masih berusaha melucu dengan berjalan mundur sambil memainkan tali timba yang terbuat dari bekas ban mobil. Tali itulah yang dikatakannya sebagai ular sawah. Ketika ia mundur, tumitnya terantuk pada batang ubi kayu.
"Byur ...!"Â
Terdengah debur air tertimpa badan Adit. Akibat tidak berhasil menjaga keseimbangan badan, Adit tercebur ke saluran air di sawah.
"Ha ha ha ... ha ha ha ...! Anak-anak mentertawakan Adit yang tercebur ke dalam saluran air di sebelah kiri pematang. Meskipun tidak dalam, air di saluran itu lebih dari cukup untuk membasahi baju dan badan Adit.
Adit yang ditertawakan teman-teman dan adik kelasnya hanya cengar-cengir. Badan basah dan rasa malu membuatnya hanya tersenyum kecut.Â
Saya berlari ke arahnya untuk bermaksud membantu. Akan tetapi, Adit sudah bisa berdiri dan naik ke darat. Kaos dan celana trainingnya basah kuyup.
"Maaf, Pak. Jangan direkan yo, Pak," pintanya.
"Ya, sudah nggak papa. Tahan 'kan berbasah-basah?" kata saya menanggapi permintaan maafnya.
"Sedikit lagi. Di tepi kebun karet kita berhenti untuk menikmati bekal yang kita bawa. Saya yakin, kalian mulai lapar," teriak bu Lisa dari depan mengingatkan.
Anak-anak pun menepi dan mencari tempat teduh yang nyaman. Mereka membuka bekal dan mencuci tangan dengan air minum yang mereka bawa. Sementara, Adit sibuk mengeringkan baju dan celananya.
Musi Rawas, 7 Maei 2023
PakDSus
Â
*) nggowo = membawa
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H