Saya menyalakan kamera dan merekam.
"Saya sudah direkam belum?" teriak seorang Bapak sambil tertawa.
"Sudah, Pak. Ini sudah saya rekam. Selamat bekerja, semuanya!" jawab saya dengan nada gembira. Sebagian besar dari mereka adalah wali murid sekolah kami. Setelah bercengkerama sejenak, saya pun melanjutkan perjalanan. Barisan sudah tidak teratur. Sebagian anak mendahului temannya.Â
Kami berjalan menyusuri jalan dan sebentar lagi akan berbelok melalui pematang. Sementara, hari beranjak tinggi. Sengatan sinar matahari mulai terasa.Â
"Pak, panas. Kalau panas, saya suka mimisan," kata Alma dengan nada manja. Anak kelas tiga ini sejak tadi berjalan di samping kiri atau kanan saya. Ia adalah anak bungsu dari dua bersaudara. Kakaknya sudah tamat dan sekarang sudah duduk di kelas satu SMP. Tutur bahasa Alma sopan, namun sedikit manja. Mungkin bawaan dari rumah karena ia adalah anak bungsu yang hingga kini belum memiliki adik.
"Tenang, Alma," kata saya, "Kamu tidak akan mimisan. Berjalan di samping Pak Guru, bayangan badan Pak akan melindungi kepalamu."
"Iya, Pak. Semoga tidak mimisan ya, Pak," jawabnya manja.
Ketika kami sedang asyik menyusuri pematang sawah, tiba-tiba terdengar suara.
"Lihat! Aku menangkap ular sawah!" teriak seorang anak laki-laki sambil memegang sesuatu seperti tali berwarna hitam. Semua mata tertuju kepadanya. O, si Adit. Anak kelas enam itu suka mencari perhatian.
"Adiiit ...! Bikin kaget saja!" teriak Maya, murid kelas lima. Ia memang mudah sekali terkejut.
Adit tertawa puas. Aksinya sudah membuat sebagian anak perempuan terkejut. Ia pun makin bertingkah.