Mohon tunggu...
Susanto
Susanto Mohon Tunggu... Guru - Seorang pendidik, ayah empat orang anak.

Tergerak, bergerak, menggerakkan. Belajar terus dan terus belajar menulis.

Selanjutnya

Tutup

Tradisi Pilihan

Bulan Ramadan Bulan yang Membahagiakan Anak-Anak

2 April 2023   23:34 Diperbarui: 2 April 2023   23:57 1078
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dok. Pribadi by Canva for Education

Umur berapa Anda sekarang? Saya yakin, kita semua memiliki nostalgia masa kanak-kanak. Terlebih pada bulan Ramadan. Banyak kisah masa kecil yang dialami. Ada hal yang menyedihkan, pun tidak sedikit yang membahagiakan atau menyenangkan.

Meskipun usia kita barangkali hampir sama, namun kondisi sosial budaya daerah kita membuat pengalaman pada masa kecil berbeda. Seperti yang saya alami. Hal yang masih saya ingat adalah ketika saya duduk di kelas empat sekolah dasar hingga tamat sekolah menengah tingkat atas.

Kenduri Nyadran

Pada bulan Sadran (istilah Jawa untuk bulan Syakban), para tetangga mengadakan kenduri yang disebut nyadran. Di daerah lain barangkali disebut Ruwahan, karena bulan Syakban disebut juga bulan Ruwah.

Khusus di kampungku, nyadran dipikul bersama-sama. Mungkin tujuh atau sepuluh rumah. Setiap keluarga membuat makanan untuk keperluan kenduri. Nasi putih, urap (kelapa parut yang dibumbui untuk campuran sayur-mayur rebus ), tempe goreng, peyek kedelai dan peyek ikan asin, kerupuk, dan jika mampu diberi telur ayam rebus utuh atau diiris separuh. Makanan tersebut ditaruh pada nyiru bundar beralaskan daun pisang. Jika dikemas kembali mungkin bisa menjadi lima bungkus 'berkat'. Bungkus nasi pada saat itu adalah bakul yang dibuat dari anyaman bambu.

Nasi itu dibagikan kepada yang hadir. Seperti pada pramuka, nasi "diputar" sehingga saya tidak akan membawa pulang nasi yang kami bawa. 

Kenduri di masyarakat Jawa jika pulang membawa 'berkat'. Saya sering mewakili bapak karena bapak sering absen. Maklum beliau buruh yang bekerja di luar kota dan pulang sudah malam atau lewat tengah malam.

 

Ritual Mandi Keramas

Setiap menjelang Ramadan, kira-kira hari terakhir bulan Syakban, di desa kami ada ritual mandi keramas. Mandi seperti biasa tetapi basah hingga ujung rambut kepala. Biasanya, mandi hanya membasahi badan hingga leher. Bagian kepala yang dibasahi hanya telinga dan bagian dalamnya. Pada waktu-waktu tertentu saja membasahi rambut. 

Mandi keramas lebih kentara lagi kaum ibu dan anak gadis. Pada saat saya kecil masih banyak yang belum memakai jilbab atau kerudung. Jadi, mandi keramas terlihat pada rambut kepala yang basah, baik masih meneteskan air maupun yang sudah dikeringkan dengan dikipas-kipas.

"Mak, kenapa kita mandi keramas?" tanya saya suatu saat.

"Karena besok kita mau puasa. Maka, badan kita harus bersih."

Sederhana sekali jawaban Mamak yang hanya tamatan kelas tiga sekolah dasar. Barangkali filosofinya memang begitu. Menghadapi bulan suci, jiwa raga kita harus bersih dan suci. Itu disimbolkan dengan mandi keramas menjelang masuk bulan puasa atau Ramadan. Tentu saja ini bukan syariat yang jika tidak dilakukan berdosa.

Besik dan Nyekar

Besik artinya membersihkan makam. Rumput dan sampah yang ada di sekitar makam leluhur (orang tua, kakek, dan sebagainya) dibersihkan. Tanah pada makan digemburkan. Jika sudah bersih, kami menyiram tanah tersbeut dengan air yang sudah disiapkan dari rumah. Setelah itu, kami menaburkan bunga-bunga di atas makam. Saat itu, saya hanya ikut-ikutan, meskipun diminta untuk mendoakan arwah yang jasadnya sudah dikuburkan itu.

Tarawih dan Jaburan yang Menyenangkan

Malam hari saya dan teman-teman pergi salat Isya dan dilanjutkan salat Tarawih. Kami salat di rumah seorang Guru Agama. Jika cuaca terang, tanah kering, Pak Guru itu menggelar tikar pandan di halamannya. Jamaah salat di halaman rumah Pak Guru. 

Kami berwudu dari rumah. Oleh karena itu, sepanjang jalan kami menahan jangan sampai buang angin. Jika terpaksa buang angin dan batal wudunya, kami berwudu di sumur milik Pak Guru Agama itu. 

Anak-anak perempuan sering kami goda. Tangannya yang tidak tertutup lengan baju kami senggol.

"Batal! Ha ... ha ... ha ...!" teriak kami kegirangan.

Anak-anak perempuan pun cemberut. Namun, mereka berangkat ke sumur untuk mengambil air wudu kembali.

"Awas, aku sudah wudu! Kalau nyenggol lagi aku adukan ke ayahku," begitu teman-teman perempuan mencegah kami dengan mengancam. Kami pun takut sehingga tidak berani menggodanya lagi.

Setelah salat tarawih, sang Imam memberikan kultum. Kultum adalah kuliah tujuh menit. Ceramah singkat dengan durasi lebih kurang tujuh menit. Kadang jika sang penceramah keasyikan, molor hingga seperempat jam.

Saya dan kawan-kawan sering kena tegur karena bermain-main ketika Pak Guru itu berceramah. 

Setelah selesai kultum, kami melaksanakan salat Tarawih. Ada delapan rakaat ditambah tiga rakaat salat Witir. Setiap empat rakaat ditutup dengan salam. Selesai salat tarawih kami membaca doa dan melafazkan niat berpuasa bersama-sama. Selesai melafazkan niat, tiba waktu yang ditunggu-tunggu. Jaburan! Penganan ringan dibungkus dengan plastik gula ukuran setengah kilo menjadi benda yang ditunggu anak-anak. Sesekali kami menerima jaburan dengan tertib. Namun, tidak jarang kami berebut karena tidak sabar. 

Asmara Subuh

Ini saya alami ketika sudah duduk di bangku sekolah menengah pertama. Debar-debar hati ketika melihat lawan jenis sudah mulai muncul. Bisa melihat anak yang disukai rasanya luar biasa. Apalagi jika bisa jalan bersama, walaupun tidak saling menyapa atau berkata-kata. 

Pada bulan puasa, setiap selesai salat Subuh, jamaah remaja sering jalan-jalan dahulu keliling kampung. Kadang, rute yang dilalui hingga beberapa kilometer. Pada saat itulah kami berkelompok bersuka ria berjalan sambil menggulung kain sarung. Para gadis remaja pun demikian. Mereka menenteng tas kecil berisi sajadah dan mukena roknya. Mukena bagian atas tetap ia pakai. Tidak sedikit juga yang membuka pakaian salat dan memakai blus yang dipadu dengan celana kulot.

Saat itulah pandangan ditujukan kepada mereka. Agar tidak ketahuan, kami berjalan sambil memainkan sarung. Kadang membentuknya seperti ekor biawak, diputar-putar di udara, atau sambil berjalan membentuk sarung menjadi seperti kurungan ayam. Jika ada yang terkesan, hati kami sangat riang.

Petasan dan Mercon Bambu

Bulan puasa identik dengan bunyi petasan. Meskipun dilarang, larangan membunyikan petasan cukup lunak. Sebab, petasan yang dibuat dari busi sepeda motor, pentil sepeda ontel, meriam bambu, meriam tanah berbahan bakar karbit, jarang dirazia. Entah mengapa, bunyi-bunyian mirip senjata tentara dan polisi sangat disenangi. Hmm, tapi memang, saat itu profesi warga sebagai tentara dan polisi adalah profesi yang amat disegani.

Mercon itu kami bunyikan menjelang berbuka dan pada waktu subuh. Kami tidak bermain sendiri-sendiri. Bermain yang menyenangkan adalah bermain bersama. Berlomba membunyikan meriam bambu dan meriam karbit dengan menggali tanah adalah permainan menyenangkan.

Bulan Ramadan adalah Bulan yang Menyenangkan bagi Anak-anak

Meskipun berlapar-lapar dan menahan haus, puasa yang kami lewati tanpa gadget sedikit pun membawa kegembiraan bagi kami, anak-anak era 80-an. Kegembiraan mencapai puncak ketika Bapak atau Mamak membelikan baju baru untuk lebaran. Meskpiun baju itu berupa baju seragam sekolah, merah putih atau baju pramuka.

Salam,
PakDSus

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Tradisi Selengkapnya
Lihat Tradisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun