Umur berapa Anda sekarang? Saya yakin, kita semua memiliki nostalgia masa kanak-kanak. Terlebih pada bulan Ramadan. Banyak kisah masa kecil yang dialami. Ada hal yang menyedihkan, pun tidak sedikit yang membahagiakan atau menyenangkan.
Meskipun usia kita barangkali hampir sama, namun kondisi sosial budaya daerah kita membuat pengalaman pada masa kecil berbeda. Seperti yang saya alami. Hal yang masih saya ingat adalah ketika saya duduk di kelas empat sekolah dasar hingga tamat sekolah menengah tingkat atas.
Kenduri Nyadran
Pada bulan Sadran (istilah Jawa untuk bulan Syakban), para tetangga mengadakan kenduri yang disebut nyadran. Di daerah lain barangkali disebut Ruwahan, karena bulan Syakban disebut juga bulan Ruwah.
Khusus di kampungku, nyadran dipikul bersama-sama. Mungkin tujuh atau sepuluh rumah. Setiap keluarga membuat makanan untuk keperluan kenduri. Nasi putih, urap (kelapa parut yang dibumbui untuk campuran sayur-mayur rebus ), tempe goreng, peyek kedelai dan peyek ikan asin, kerupuk, dan jika mampu diberi telur ayam rebus utuh atau diiris separuh. Makanan tersebut ditaruh pada nyiru bundar beralaskan daun pisang. Jika dikemas kembali mungkin bisa menjadi lima bungkus 'berkat'. Bungkus nasi pada saat itu adalah bakul yang dibuat dari anyaman bambu.
Nasi itu dibagikan kepada yang hadir. Seperti pada pramuka, nasi "diputar" sehingga saya tidak akan membawa pulang nasi yang kami bawa.Â
Kenduri di masyarakat Jawa jika pulang membawa 'berkat'. Saya sering mewakili bapak karena bapak sering absen. Maklum beliau buruh yang bekerja di luar kota dan pulang sudah malam atau lewat tengah malam.
Â
Ritual Mandi Keramas
Setiap menjelang Ramadan, kira-kira hari terakhir bulan Syakban, di desa kami ada ritual mandi keramas. Mandi seperti biasa tetapi basah hingga ujung rambut kepala. Biasanya, mandi hanya membasahi badan hingga leher. Bagian kepala yang dibasahi hanya telinga dan bagian dalamnya. Pada waktu-waktu tertentu saja membasahi rambut.Â
Mandi keramas lebih kentara lagi kaum ibu dan anak gadis. Pada saat saya kecil masih banyak yang belum memakai jilbab atau kerudung. Jadi, mandi keramas terlihat pada rambut kepala yang basah, baik masih meneteskan air maupun yang sudah dikeringkan dengan dikipas-kipas.
"Mak, kenapa kita mandi keramas?" tanya saya suatu saat.