"Ish ...," hanya itu kata yang keluar dari mulut istri sambil mencubit paha kiri saya.
Ketika pelayan membersihkan meja pengunjung yang sudah pulang, saya berbisik.
"Mas, bisa minta plastik dan dibungkuskan?" pinta saya tanpa ragu sambil melihat istri yang memasang muka kurang setuju.
"O, iya, Bapak. Sebentar, yang mana, ya?" tanya sang pelayan.
Saya pun menyodorkan makananan yang hendak dibungkus untuk dibawa pulang.
Membungkus Makanan yang Tidak Habis Itu Bentuk PenghargaanÂ
"Ayah ini, nekat," kata istri saya setelah motor yang kami kendarai berjalan.
"E, Ibu. Membungkus makanan sisa itu nggak norak. Ibu yakin, sisa makanan kita akan dimakan para pelayan meskipun udang goreng tepung itu masih tersisa separuh dan besar-besar? Sayur asem yang masih tiga perempat mangkuk, apa yakin mereka akan memakannya. Jelas tidak. Paling masuk ke dalam kotak sampah makanan."
Motor yang kupacu kencang, setengah jam kemudian masuk ke halaman rumah. Setelah memasukkan ke dalam garasi, kami pun melanjutkan obrolan di tengah jalan tadi.
"Bagi sebagian orang, termasuk aku, bawa pulang sisa makanan yang tidak habis itu merupakan bentuk penghargaan."
"Penghargaan bagaimana?" tanya perempuan teman sekolah saya dulu sambil masuk ke dalam kamar.
"Ya, penghargaan terhadap makanan itu sendiri. Dari pada dibuang 'kan? Kasihan dia dicampakkan begitu saja, ha ha ha. Lalu, penghargaan terhadap si tukang masak, meskipun mereka bekerja dibayar sang juragan. Hingga, kita empati kepada orang yang membutuhkan makanan. Ada orang yang butuh makan, kita malah buang-buang makanan. Jadi, sayang 'kan kalau sampai dibuang. Selama masih bisa dimakan, ya  dibungkus dan dibawa pulang. Jika ada yang mau, kita berikan. Jika tidak ada ya, aku makan. Simpel."