Mohon tunggu...
Susanto
Susanto Mohon Tunggu... Guru - Seorang pendidik, ayah empat orang anak.

Tergerak, bergerak, menggerakkan. Belajar terus dan terus belajar menulis.

Selanjutnya

Tutup

Diary Pilihan

Mbungkus Makanan? Ayah Bikin Malu, Ah!

15 Maret 2023   23:35 Diperbarui: 16 Maret 2023   00:20 547
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Lokasi yang kami tuju (Gambar screenshot Map Google, dok. Pribadi)

Setelah magic jar yang berisi 1,8 liter rusak, kami menanak nasi dengan dikukus. Ingin agar nasi tetap hangat, akhirnya saya memutuskan untuk membeli magic com. Jika magic jar hanya menghangatkan nasi, magic com melakukan keduanya: menanak dan menghangatkan nasi. 

Ukuran magic com yang kami beli ukuran anak kos, 0,9 liter. Ya, karena di rumah tinggal kami bertiga: saya, istri, dan anak bungsu. Anak bungsu kami laki-laki, masih duduk di bangku SMA kelas X. Dia jarang makan pagi. Makan siang pada saat pulang sekolah sekitar pukul 14.30. Porsi yang dimakannya lumayan jumbo. Sorenya, jika nasi di magic com masih ada, ia makan dengan lauk favoritnya, telur dadar goreng yang dibuatnya sendiri.

Saya dan istri tidak begitu banyak makan nasi. Sehingga, beras 3 kaleng susu kental manis, setelah menjadi nasi kadang habis, kadang kurang, dan sering juga tersisa. Seperti petang ini, nasi di magic com tersisa sedikit, cukup untuk makan si anak bujang saja. 

"Bu, kita makan di luar, yuk!"

"Makan apa?" jawab istriku dengan bertanya.

"Kita mencoba makan nasi bakar. Bagaimana?" Saya menawarkan sebuah pilihan.

"Baik. Sesudah Isya kita berangkat!" tukas perempuan paruh baya itu tanpa banyak kata.

Selesai salat Isya, kami pun berangkat ke kota. Rumah makan yang kami tuju adalah RM. Nasi Bakar 88. Jarak dari rumah sekitar 25 kilometer. Jarak sejauh itu kami tempuh dalam waktu setengah jam.

Jujur saja, saya belum pernah jajan di rumah makan yang hampir setiap hari penuh dengan pengunjung itu. Sore ini saya mengajak istri ke sana karena ia kelihatan lesu, seperti kehilangan napsu makan di rumah. Hi hi hi ... terang saja, nasi di magic com kan tinggal sedikit. 

Setengah jam perjalanan, motor matic yang kami kendarai sampai di pelataran parkir rumah makan. Setelah motor saya parkirkan, kami berdua pun masuk dan disambut oleh pelayan dengan ramah. Lalu, sang pelayan memberikan pilihan.

"Bapak mau makan di sofa, bagian tengah, atau di taman belakang?" sang pelayan memberikan pilihan.

"Hmm ... di sini saja," jawab saya sambil menunjuk sofa yang masih kosong. Ruangan itu berada di bagian depan berhadapan dengan kasir dan dekat sekali dengan pintu keluar.

Sejurus kemudian, sang pelayan membawa daftar menu dan kertas pesanan ke meja kami.

"Silakan isi dengan memilih menu yang ada. Setelah selesai Bapak boleh panggil saya kembali," kata sang pelayan laki-laki dengan ramah. 

Ia memberikan lembar daftar menu dengan sikap menunduk. Saya suka. Demikianlah sikap jika melayani orang yang dihormati. Saya pun kerap melakukannya.

Kami pun memilih: nasi bakar dua porsi, udang tepung satu porsi, ayam kampung penyet bagian paha satu porsi, sayur asam satu mangkuk, cah kangkung satu porsi, green tea lemon hot satu gelas, dan jeruk hangat satu gelas. Setelah selesai, sang pelayan saya panggil dan kami diminta untuk menunggu sebentar. Tidak berapa lama, pesanan pun datang. Kami segera menikmati menu yang kami pilih.

Nasi bakar rendang pesanan saya terasa gurih. Dipadu dengan lauk udang tepung terasa sedap. Saya pun ikut menyeruput sayur asem agar mulut terasa segar. Selesai makan, udang goreng tepung sebesar telunjuk masih tersisa beberapa potong. Sayur asem yang menurutku jauh lebih sedap dari sayur asem yang biasa dimasak istri pun tidak habis. Perut tua yang dulu mampu menampung dua piring nasi beserta lauk dan sayurnya, sekarang terasa sangat penuh. 

Meskipun porsi yang kami pesan tidak berlebihan, akan tetapi karena perut tidak kompromi lagi, alhasil masih ada tersisa sayur asam 3/4 mangkuk dan udang goreng yang jika diuangkan masih beraji puluhan ribu rupiah. Sayang jika dihabiskan. Maksudnya, sayang jika dimasukkan ke dalam perut yang sudah kekenyangan. Takut tidak berkah. Demikian pula sayur asem yang lezat. Tetap tidak muat dan eman-eman jika ditinggal. 

"Bu, sisa makanan ini mau aku bungkus," kata saya kepada istri.

"Ish ... ayah. Bikin malu. Nggak Usah," jawab istri sambil berbisik.

"E, ... mbungkus makanan sekarang nggak tabu, lo," tukas saya meyakinkan.

"Ish ...," hanya itu kata yang keluar dari mulut istri sambil mencubit paha kiri saya.

Ketika pelayan membersihkan meja pengunjung yang sudah pulang, saya berbisik.

"Mas, bisa minta plastik dan dibungkuskan?" pinta saya tanpa ragu sambil melihat istri yang memasang muka kurang setuju.

"O, iya, Bapak. Sebentar, yang mana, ya?" tanya sang pelayan.

Saya pun menyodorkan makananan yang hendak dibungkus untuk dibawa pulang.

Membungkus Makanan yang Tidak Habis Itu Bentuk Penghargaan 

"Ayah ini, nekat," kata istri saya setelah motor yang kami kendarai berjalan.

"E, Ibu. Membungkus makanan sisa itu nggak norak. Ibu yakin, sisa makanan kita akan dimakan para pelayan meskipun udang goreng tepung itu masih tersisa separuh dan besar-besar? Sayur asem yang masih tiga perempat mangkuk, apa yakin mereka akan memakannya. Jelas tidak. Paling masuk ke dalam kotak sampah makanan."

Motor yang kupacu kencang, setengah jam kemudian masuk ke halaman rumah. Setelah memasukkan ke dalam garasi, kami pun melanjutkan obrolan di tengah jalan tadi.

"Bagi sebagian orang, termasuk aku, bawa pulang sisa makanan yang tidak habis itu merupakan bentuk penghargaan."

"Penghargaan bagaimana?" tanya perempuan teman sekolah saya dulu sambil masuk ke dalam kamar.

"Ya, penghargaan terhadap makanan itu sendiri. Dari pada dibuang 'kan? Kasihan dia dicampakkan begitu saja, ha ha ha. Lalu, penghargaan terhadap si tukang masak, meskipun mereka bekerja dibayar sang juragan. Hingga, kita empati kepada orang yang membutuhkan makanan. Ada orang yang butuh makan, kita malah buang-buang makanan. Jadi, sayang 'kan kalau sampai dibuang. Selama masih bisa dimakan, ya  dibungkus dan dibawa pulang. Jika ada yang mau, kita berikan. Jika tidak ada ya, aku makan. Simpel."

Panjang lebar aku menjelaskan. Tidak ada komentar sedikit pun dari perempuan yang sudah lebih dari seperempat abad menemani hidup saya. Sebelum saya buka isi kotak berisi sisa makanan, saya foto dulu sebagai ilustrasi tulisan di Kompasiana.

Foto bungkus nasi bakar yang berisi sisa makanan (Dok. Pribadi)
Foto bungkus nasi bakar yang berisi sisa makanan (Dok. Pribadi)

Musi Rawas, 15 Maret 2023
PakDSus

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun