Ketika saya masih muda, eh ... sekarang sudah mulai tua ya karena sudah kepala lima, korban kecelakaan, kekerasan, pelecehan, wajah si korban diblur atau disamarkan.Â
Setidaknya bagian mata diberi garis tebal untuk sekedar menyamarkan agar tidak vulgar. Atau, jika anggota tubuh korban sudah rusak atau bagian vitalnya kelihatan, tidak diperlihatkan secara nyata.Â
Foto korban sebagai ilustrasi berita pasti disamarkan pada bagian-bagian tubuh yang secara umum tidak layak untuk dilihat dengan jelas.Â
Bagaimana dengan unggahan-unggahan pada media sosial sekarang? Mulai dari WhatsApp, orang dengan mudah menyebarkan aksi kekerasan, atau koraban kekerasan apa adanya tanpa sensor.Â
Kejadian siswa berkelahi, tawuran, begal, dan sebagainya direkam. Lalu, tanpa melaui proses editing, langsung disebarkan.
Mengapa orang dengan mudah menyebarkan konten kekerasan tanpa edit di media sosial? Apakah platform media sosial tidak memberi batasan konten-konten apa saja yang boleh dan tidak boleh diterbitkan?Â
Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan ini, setidaknya ada 5 alasan yang melatarbelakanginya. Sebagian sudah disinggung pada awal tulisan ini.
Pertama, akun anonim diizinkan. Di balik topeng anonim, orang merasa lebih leluasa menyebarkan apa saja.Â
Hanya mereka yang memiliki kompetensi tertentu yang mampu melacak. Ada yang mengatakan bahwa para penyuka konten kekerasan lebih nyaman berinteraksi dengan akun anonim.
Kedua, terkoneksi dengan jaringan internet adalah kebutuhan. Anak-anak yang sudah memeiliki hape sendiri, ketika mendapat uang jajan yang cukup untuk membeli paket data, mereka lebih memilih membeli paket data agar bisa online ketimbang membeli makanan.Â
Apalagi jika hape di tangan sudah kehabisan kuota sehingga tidak bisa terkoneksi dengan jaringan internet. Itu artinya, ia terpustus dengan dunia maya. Sehingga, meskipun mahal, ketika sama-sama kosong, orang lebih memilih memberi makan hape ketimbang perutnya.