Mohon tunggu...
Susanto
Susanto Mohon Tunggu... Guru - Seorang pendidik, ayah empat orang anak.

Tergerak, bergerak, menggerakkan. Belajar terus dan terus belajar menulis.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Kekerasan di Media Sosial Semakin Vulgar

7 Maret 2023   22:36 Diperbarui: 9 Maret 2023   10:01 1168
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi: Kekerasan. (Foto oleh Karolina Grabowska/pexels.com) 

Selama beberapa bulan terakhir semakin banyak informasi tentang kekerasan yang tersebar di media sosial. Padahal media sosial sebenarnya adalah tempat berbagi informasi. 

Namun, saya tidak tahu mengapa jenis dan pola kekerasan semakin sering terjadi. Pesan kekerasan ini mudah kita temui, baik melalui media arus utama (mainstream) maupun platform media sosial, misalnya WA, Facebook, Twitter, TikTok, SnackVideo, dan sebagainya. 

Hampir setiap detik jutaan, mungkin ratusan juta pesan, dibuat dan didistribusikan di media sosial. 

Mulailah dengan sesuatu yang sederhana seperti mengumumkan cuaca hari ini, hingga informasi segera seperti bencana alam, kebakaran, kejahatan begal, maupun aksi "klitih" di Yogakarta dan Jawa Tengah. Semua tersaji dan tersedia di media sosial pengguna.

Kita dapat berperan sebagai pengguna sekaligus produsen berita. Siapa pun yang memiliki akun dapat membuat konten. Seiring waktu ia juga akan menjadi konsumen konten pengguna lain. Berbalas komentar teman di Facebook, Twiter, atau media lainnya jamak dilakukan. 

Baru-baru ini beredar video tentang drama pengejaran pelaku pembac*kan (ganti tanda bintang dengan huruf 'o') yang akhirnya ditabrak oleh pengejarnya. 

Salah satu akun twitter @murtadaOne1 mengunggah video tersebut disertai video lainnya. Satu video dianggap sebagai sebab kejadian, sedangkan satu video lagi sebagai akibat. (Pembaca bisa melihatnya di sini)  

Beragam komentar netizen. Ada yang mengritisi sembari mencibir. Ada pula yang memberi komentar dengan komentar dengan kata-kata vulgar.

Unggahan Visual Maupun Tulisan di Media Sosial Semakin Vulgar

Baik unggahan visual maupun unggahan tulisan bernuansa kekerasan mudah sekali ditemukan. 

Setiap orang, didasari rasa penasaran dan keinginan dianggap sebagai pemberi informasi pertama akan sangat mudah mencari dalih menyebarkan konten-konten yang mengandung kekerasan.

Ketika saya masih muda, eh ... sekarang sudah mulai tua ya karena sudah kepala lima, korban kecelakaan, kekerasan, pelecehan, wajah si korban diblur atau disamarkan. 

Setidaknya bagian mata diberi garis tebal untuk sekedar menyamarkan agar tidak vulgar. Atau, jika anggota tubuh korban sudah rusak atau bagian vitalnya kelihatan, tidak diperlihatkan secara nyata. 

Foto korban sebagai ilustrasi berita pasti disamarkan pada bagian-bagian tubuh yang secara umum tidak layak untuk dilihat dengan jelas. 

Bagaimana dengan unggahan-unggahan pada media sosial sekarang? Mulai dari WhatsApp, orang dengan mudah menyebarkan aksi kekerasan, atau koraban kekerasan apa adanya tanpa sensor. 

Kejadian siswa berkelahi, tawuran, begal, dan sebagainya direkam. Lalu, tanpa melaui proses editing, langsung disebarkan.

Mengapa orang dengan mudah menyebarkan konten kekerasan tanpa edit di media sosial? Apakah platform media sosial tidak memberi batasan konten-konten apa saja yang boleh dan tidak boleh diterbitkan? 

Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan ini, setidaknya ada 5 alasan yang melatarbelakanginya. Sebagian sudah disinggung pada awal tulisan ini.

Pertama, akun anonim diizinkan. Di balik topeng anonim, orang merasa lebih leluasa menyebarkan apa saja. 

Hanya mereka yang memiliki kompetensi tertentu yang mampu melacak. Ada yang mengatakan bahwa para penyuka konten kekerasan lebih nyaman berinteraksi dengan akun anonim.

Kedua, terkoneksi dengan jaringan internet adalah kebutuhan. Anak-anak yang sudah memeiliki hape sendiri, ketika mendapat uang jajan yang cukup untuk membeli paket data, mereka lebih memilih membeli paket data agar bisa online ketimbang membeli makanan. 

Apalagi jika hape di tangan sudah kehabisan kuota sehingga tidak bisa terkoneksi dengan jaringan internet. Itu artinya, ia terpustus dengan dunia maya. Sehingga, meskipun mahal, ketika sama-sama kosong, orang lebih memilih memberi makan hape ketimbang perutnya.

Ketiga, mudahnya membagikan konten lintas platform. Pernah bukan, Anda membagikan konten di Facebook, Twitter, TikTok, SnacVideo, ke WhatsApp? 

Adakah Anda mengalami kesulitan yang berarti? Tidak sama sekali. Mudahnya erbagi membuat konten berbau kekerasan, bahkan yang isinya vulgar, semakin mudah dilakukan.

Keempat, netizen adalah orang yang mudah penasaran. Rasa penasaran memperkuat insting seseorang untuk menggali dan menyelusuri berita yang dibagikan. 

No pic hoax menjadi gurauan sekaligus menumbuhkan keinginan kuat bagi seseorang agar tidak dianggap menyebarkan berita bohong. 

Alhasil, foto-foto atau video yang seharusnya tidak disebarkan karena dianggap tidak memiliki empati terhadap korban dengan cepat tersebar ke mana-mana.

Kelima, upaya memohon kepada aparat berwenang agar segera menangani. Kita tidak memungkiri bahwa beberapa kasus mencuat dan ditangani aparat setelah kejadiannya diviralkan oleh netizen. Kasus penganiayaan, kasus pelecehan seksual, kadang harus diviralkan dahulu oleh netizen agar aparat bertindak.

Itulah lima hal yang melatarbelakangi maraknya konten berbau kekerasan di media sosial. Dus, menyebabkan konten-konten di media soial makin marak dan vulgar. haruskah hal seperti ini dibiarkan?

Musi Rawas, 7 Maret 2023

PakDSus 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun