Mohon tunggu...
Susanto
Susanto Mohon Tunggu... Guru - Seorang pendidik, ayah empat orang anak.

Tergerak, bergerak, menggerakkan. Belajar terus dan terus belajar menulis.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Bolehkah Kami...

12 September 2022   00:11 Diperbarui: 12 September 2022   00:17 251
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tanggal satu bulan depan, Pak Eko memasuki usia pensiun. Ia sudah mengabdi di sekolah dasar itu selama dua puluh lima tahun. Pada usia tiga puluh lima, ia dimutasi dan menjadi tenaga pendidik di sekolah yang berada di simpang jalan desa itu, hingga sekarang. 

Fisiknya masih gagah. Belum terlihat lemah. Rambut yang memutih di kepala dan kulit yang tidak kencang lagi tidak bisa menyembunyikan bahwa Pak Eko masih bugar. Satu bulan lagi, lelaki tua berkaca mata itu genap berusia enam puluh tahun.

Pada jam istirahat, Pak Eko duduk-duduk di bangku taman sekolah. Di bawah rindang pohon peneduh, guru kelas enam itu menghabiskan jam istirahatnya di sana. Biasanya setelah minum teh di ruang guru, Pak Eko menuju bangku taman yang dibuat dari semen berlapis keramik. Ia memperhatikan anak-anak yang gembira bermain di halaman. Sesekali menegur jika ada anak yang berlarian, atau ada anak yang bertengkar karena memperebutkan bola.

Guru tua itu sangat akrab dengan anak-anak. Oleh karena itu, tidak heran jika anak-anak terlihat berani dan tidak canggung mengajaknya bicara atau menanyakan sesuatu. Seperti Tiara yang mendekati Pak Eko di bangku taman. Tiara tidak sendirian. Ia mendekati gurunya berdua dengan Ines.  

"Bapak mau pensiun ya, Pak?" tanya Tiara. Gadis kelas enam memberanikan diri bertanya kepada guru kelasnya.

"Iya, Mbak. Kenapa?" jawab Pak Eko balik bertanya.

"Tidak apa-apa, Pak. Jika pensiun artinya ...," gadis manis itu tidak melanjutkan perkataannya.

"Artinya, Bapak berhenti bekerja. Tidak mengajar lagi. Kalian akan diajar oleh guru lain. Mungkin guru baru atau guru yang ada di sekolah ini," jelas Pak Eko.

Tapi, Pak .... Kami kan belum lulus. Masa Pak Eko berhenti?" tanya Ines pula.

"Sini, duduk sini!" ajak Pak Eko kepada dua orang muridnya itu.

Kedua anak itu pun mendekat.

"Siapa Pak, guru baru yang menggantikan Bapak?" tanya Tiara.

"Ya, saya belum tahu," jawab Pak Eko.

"Pak Eko jangan pensiun dulu, deh," timpal Ines dengan mimik serius.

"Ha ha ha, pensiun kok jangan dulu. Jika sudah mencapai usia pensiun, seorang pegawai ya harus berhenti bekerja," jelas Pak Eko lagi.

"Bukan, Pak. Maksudnya, ajar kami sampai kami lulus, Pak. Sudah itu baru Pak Eko berhenti," kata Tiara

"Iya, Pak. Ya Pak, ya?" bujuk Ines tidak mau kalah.

Kedua anak bergantian membujuk Pak Eko dengan polosnya.

"Ha ha ha ... sudah-sudah. Sebentar lagi kita masuk. Sana, kalian bersiap-siap!" Pak Eko yang humoris menanggapi permintaan kedua muridnya dengan gelak tawa.

Tiara dan Ines pun kembali.  Mereka berlari menuju ke kelasnya.

Setelah jam istirahat kedua, sebelum pulang Pak Eko biasa memberi tantangan. Kadang tantangan berupa permainan bilangan, kadang menceritakan gambar, tidak jarang meminta murid-murid menulis puisi. 

Hari itu, hari Sabtu. Sebelum bel pulang, Pak Eko meminta siswa membuat puisi. Tidak semua anak kelas enam suka berpuisi. Bahkan, ada anak mengaku jujur yang tidak bisa menulis puisi. Namun, Pak Eko selalu memberi motivasi.

"Jangan takut salah!" 

Begitu nasihat Pak Eko. Nasihat itu membuat anak-anak berani menulis. Pusi yang dibuat dua puluh murid kelas enam beragam. Ada yang membuat gurunya tersenyum, ada juga puisi yang membuat sang guru terkagum-kagum. Seperti puisi Tiara yang membuat Pak Eko terharu.

Bolehkah Kami
Oleh: Tiara


Bolehkah kami meminta
agar pak guru jangan pensiun dulu
mendidik kami hingga lulus nanti
karena kami baru separuh jalan

Pak guru kami memang sudah tua
namun beliau penuh canda tawa
tidak pernah menghardik ataupun marah
dengan sabar mengajari siswa hingga bisa

Kalau boleh kami meminta
izinkan ia bersama siswa
berjuang menghadapi ujian
hingga kami lulus dengan gemilang

Ada bulir air yang menggenang di sudut mata guru tua yang pada waktu istirahat tadi ditanya oleh Tiara.

Salam sehat,
PakDSus

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun