Kecintaannya pada dunia menulis telah memberinya berkah. Di saat penghasilan yang berkurang akibat tidak bisa bekerja seperti biasa, ada sahabatnya yang menawarkan bantuan menerbitkan tulisan-tulisannya yang bertaburan di blog dan Kompasiana, Bang Dian dan Cak Inin.
Kembali dengan kelakar khasnya Omjay bercerita bahwa ia tidak mempunyai uang untuk mencetaknya. Namun demikian Bung Dian Kelana siap membantu meskipun biaya cetak dihutang. Sampai pada kalimat berhutang, tawa Omjay pun kembali lepas. Kopiah putih yang dikenakannya seakan ikut mengiyakan kisah tuannya yang mencetak sepuluh buah buku dengan ongkos 600 ribu rupiah.
Sembari menunggu bukunya jadi, Omjay sibuk menawarkan bukunya. Open PO disebarkan ke sejumlah komunitas. Lagi-lagi berkah Tuhan datang. Allah mendengar doa dan mengabulkan usaha kerasnya menawarkan buku tanpa henti. Guru, dosen, dan teman-teman banyak yang pesan. Akhirnya ia menghubungi Bung Dian agar mencetak lebih banyak karena uangnya sudah ada.
"Ha ha ha," kembali tawa lepas Omjay memenuhi ruang Zoom.
Ketika kesempatan bertanya dibuka, saya memberanikan diri untuk berkomentar tentang menulis dan menerbitkan buku ketika sakit dan karantina mandiri di rumah.
Apa yang saya uraikan di atas adalah sebagian dari jawaban Omjay terhadap pertanyaan saya. Cerita pun berlanjut tentang pemasaran buku "Agar PJJ Tak Lagi Membosankan" yang diawali tanpa modal itu.
Kang Sekoteng yang Menginspirasi
Omjay melanjutkan ceritanya. Setiap hari, ia "bekerja" di teras rumahnya. Berbekal laptop kesayangan dan akses internet cepat ia menghabiskan waktunya. Di teras rumah, di tepi jalan tempatnya tinggal.
Jalan di depan rumahnya adalah tepat lalu lalang berbagai pedagang keliling. Tukang bakso, siomay, sekoteng, dan sebagainya. Seorang penjual sekoteng, Mang Ujang dari Garut, pernah ditanya. Mengapa setiap kali lewat depan rumah selalu menawarkan dagangan sedangkan ia, penjual sekoteng, tahu bahwa Omjay tidak pernah membeli.
Dengan santun dijawab bahwa rejeki udah ada yang ngatur. Siapa saja ditawari. Jika tidak beli mungkin lain kali.
Setelah menikmati segarnya sekoteng pada hari itu dan mendengar penuturan sang penjual, Omjay pun berpikir.