"Sudahlah," jawab ibunya sambil tersenyum lembut. "Rejeki itu datang sesuai kebutuhan. Kamu adalah satu-satunya kebanggaan ibu. Kalau kamu sedih, ibu juga ikut sedih."
Saat itu, istrinya masuk dapur. Melihat suaminya dan ibu mertuanya duduk bersama, ia bertanya heran, "Mas, sudah pulang kok nggak bangunin aku? Bikin kopi juga. Kenapa nggak minta aku saja?"
Ibunya tertawa kecil. "Ngapain dia minta kamu? Dia sudah besar, bikin kopi sendiri juga bisa."
Istrinya ikut tertawa, lalu berkata, "Maaf ya, Mas, gulanya habis. Besok aku beli."
"Nggak apa-apa, Dik," jawab lelaki itu, berusaha menyembunyikan kegundahannya.
Setelah ibunya kembali ke kamar, lelaki itu duduk berdua dengan istrinya. Perempuan itu menatapnya lekat-lekat, mencoba mencari jawaban di balik wajah lelah suaminya.
"Mas, kamu baik-baik saja kan?" tanyanya.
"Iya, Dik. Tadi ibu cuma bilang mau jual pedet di Lik Rebo, katanya biar lik Rebo nggak kerepotan. Aku juga sudah bilang nggak usah, tapi ibu tetap mau," jawabnya, mencoba menenangkan. Â
"Oh, gitu. Ya sudah, besok kita lihat pedetnya," balas istrinya tanpa banyak curiga.
Lelaki itu tersenyum kecil. Namun, di dalam hatinya, ia memohon ampun kepada Gusti Allah karena harus menyembunyikan kebenaran dari istrinya.
Malam itu, meski mereka berbincang ringan tentang anak-anak, lelaki itu tidak bisa mengusir beban dari pikirannya. Sebelum memejamkan mata, ia berdoa dalam hati.