Mohon tunggu...
Suryokoco Suryoputro
Suryokoco Suryoputro Mohon Tunggu... Wiraswasta - Desa - Kopi - Tembakau - Perantauan

Berbagi pandangan tentang Desa, Kopi dan Tembakau untuk Indonesia. Aktif di Organisasi Relawan Pemberdayaan Desa Nusantara, Koperasi Komunitas Desa Indonesia, Komunitas Perokok Bijak, Komuitas Moblie Journalis Indonesia dan beberapa organisasi komunitas perantau

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Kopi Pahit Pendamping Desa dalam Tangis Malam yang Menguji @KompasianaDESA

22 Januari 2025   18:00 Diperbarui: 22 Januari 2025   18:00 6569
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi menggunakan ChatGPT

"Sudahlah," jawab ibunya sambil tersenyum lembut. "Rejeki itu datang sesuai kebutuhan. Kamu adalah satu-satunya kebanggaan ibu. Kalau kamu sedih, ibu juga ikut sedih."

Saat itu, istrinya masuk dapur. Melihat suaminya dan ibu mertuanya duduk bersama, ia bertanya heran, "Mas, sudah pulang kok nggak bangunin aku? Bikin kopi juga. Kenapa nggak minta aku saja?"

Ibunya tertawa kecil. "Ngapain dia minta kamu? Dia sudah besar, bikin kopi sendiri juga bisa."

Istrinya ikut tertawa, lalu berkata, "Maaf ya, Mas, gulanya habis. Besok aku beli."

"Nggak apa-apa, Dik," jawab lelaki itu, berusaha menyembunyikan kegundahannya.

Setelah ibunya kembali ke kamar, lelaki itu duduk berdua dengan istrinya. Perempuan itu menatapnya lekat-lekat, mencoba mencari jawaban di balik wajah lelah suaminya.

"Mas, kamu baik-baik saja kan?" tanyanya.

"Iya, Dik. Tadi ibu cuma bilang mau jual pedet di Lik Rebo, katanya biar lik Rebo nggak kerepotan. Aku juga sudah bilang nggak usah, tapi ibu tetap mau," jawabnya, mencoba menenangkan.  

"Oh, gitu. Ya sudah, besok kita lihat pedetnya," balas istrinya tanpa banyak curiga.

Lelaki itu tersenyum kecil. Namun, di dalam hatinya, ia memohon ampun kepada Gusti Allah karena harus menyembunyikan kebenaran dari istrinya.

Malam itu, meski mereka berbincang ringan tentang anak-anak, lelaki itu tidak bisa mengusir beban dari pikirannya. Sebelum memejamkan mata, ia berdoa dalam hati.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun