Mohon tunggu...
Suryokoco Suryoputro
Suryokoco Suryoputro Mohon Tunggu... Wiraswasta - Desa - Kopi - Tembakau - Perantauan

Berbagi pandangan tentang Desa, Kopi dan Tembakau untuk Indonesia. Aktif di Organisasi Relawan Pemberdayaan Desa Nusantara, Koperasi Komunitas Desa Indonesia, Komunitas Perokok Bijak, Komuitas Moblie Journalis Indonesia dan beberapa organisasi komunitas perantau

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Kopi Pahit Pendamping Desa dalam Tangis Malam yang Menguji @KompasianaDESA

22 Januari 2025   18:00 Diperbarui: 22 Januari 2025   18:00 6569
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Lelaki itu terkejut. Ia menoleh dan melihat ibunya berdiri di pintu dapur, menatap dengan wajah penuh kasih. Malu, ia buru-buru menghapus air matanya. Tapi itu sudah terlambat.

"Ada apa, Nak? Kamu ada masalah?" tanya ibunya, berjalan mendekat dan duduk di sampingnya.

Ia terdiam sejenak, lalu mengangguk. "Iya, Bu. Pekerjaan."

"Cerita saja, jangan dipendam. Nanti kamu tambah berat," bujuk ibunya.

Akhirnya, lelaki itu menceritakan semua, karena baginya pantang berbohong pada ibunya. Tentang kabar kontraknya yang mungkin hanya diperpanjang tiga bulan jika ia tidak segera mendapatkan sertifikasi, dan biaya sertifikasi yang sangat mahal hingga tabungannya tak cukup.

Sang ibu mendengarkan dengan sabar, kemudian berkata dengan tenang, "Kalau memang harus ikut sertifikasi, ikut saja. Nggak usah terlalu dipikirkan."

"Tapi, Bu, biayanya mahal. Tabungan saya sudah habis kemarin buat biaya rumah sakit adi (anaknya)," jawabnya lemah.

Ibu itu tersenyum kecil, lalu berkata, "Kalau satu pedet (anak sapi ) cukup untuk bayar, ya ambil saja."

"Maksud Ibu?" tanyanya bingung.

"Sapi ibu yang dipelihara Lik Rebo itu baru saja beranak dua. Satu pedet untuk mereka, satu untuk ibu. Itu mungkin rejekimu dari Gusti Allah. Ambil saja."

Lelaki itu tertegun. Air matanya kembali jatuh, kali ini bukan karena kesedihan, tapi haru. Ia meraih tangan ibunya yang mulai keriput, menciumnya dengan penuh hormat. "Bu, saya nggak tahu harus bilang apa. Ini terlalu besar untuk saya."

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun