Lelaki itu terkejut. Ia menoleh dan melihat ibunya berdiri di pintu dapur, menatap dengan wajah penuh kasih. Malu, ia buru-buru menghapus air matanya. Tapi itu sudah terlambat.
"Ada apa, Nak? Kamu ada masalah?" tanya ibunya, berjalan mendekat dan duduk di sampingnya.
Ia terdiam sejenak, lalu mengangguk. "Iya, Bu. Pekerjaan."
"Cerita saja, jangan dipendam. Nanti kamu tambah berat," bujuk ibunya.
Akhirnya, lelaki itu menceritakan semua, karena baginya pantang berbohong pada ibunya. Tentang kabar kontraknya yang mungkin hanya diperpanjang tiga bulan jika ia tidak segera mendapatkan sertifikasi, dan biaya sertifikasi yang sangat mahal hingga tabungannya tak cukup.
Sang ibu mendengarkan dengan sabar, kemudian berkata dengan tenang, "Kalau memang harus ikut sertifikasi, ikut saja. Nggak usah terlalu dipikirkan."
"Tapi, Bu, biayanya mahal. Tabungan saya sudah habis kemarin buat biaya rumah sakit adi (anaknya)," jawabnya lemah.
Ibu itu tersenyum kecil, lalu berkata, "Kalau satu pedet (anak sapi ) cukup untuk bayar, ya ambil saja."
"Maksud Ibu?" tanyanya bingung.
"Sapi ibu yang dipelihara Lik Rebo itu baru saja beranak dua. Satu pedet untuk mereka, satu untuk ibu. Itu mungkin rejekimu dari Gusti Allah. Ambil saja."
Lelaki itu tertegun. Air matanya kembali jatuh, kali ini bukan karena kesedihan, tapi haru. Ia meraih tangan ibunya yang mulai keriput, menciumnya dengan penuh hormat. "Bu, saya nggak tahu harus bilang apa. Ini terlalu besar untuk saya."